MAKANAN, KENANGAN, DAN KISAH DARI MAHABHARATA
MAKANAN, KENANGAN, DAN KISAH DARI MAHABHARATA
Oleh: Telly D.
“Makanan adalah bahasa universal yang menghubungkan manusia, melampaui kata-kata, menggambarkan cinta, persahabatan, dan perjuangan dalam setiap suapan.”
Makanan adalah lebih dari sekadar kebutuhan biologis; ia adalah penjaga cerita dan penghubung emosi. Aroma, rasa, dan tekstur suatu hidangan memiliki kemampuan luar biasa untuk menghidupkan kembali kenangan, membawa kita kembali ke masa lalu yang penuh dengan momen, tempat, dan orang-orang yang pernah mengisi hidup kita.
Dalam pengalaman pribadi maupun kisah sastra seperti Mahabharata, makanan sering menjadi simbol cinta, kebersamaan, pengorbanan, bahkan strategi. Setiap hidangan tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga menyimpan kisah yang terus terhubung dengan kita melalui rasa.
Dalam Mahabharata, salah satu cerita paling berkesan tentang makanan adalah kisah Akshaya Patra, periuk ajaib yang diberikan oleh Dewa Surya kepada Yudhistira selama masa pengasingan Pandawa. Periuk ini menyediakan makanan tanpa batas hingga semua orang yang lapar terpuaskan. Bagi Pandawa, periuk ini adalah lambang kebaikan ilahi, solidaritas, dan cinta di tengah keterbatasan.
Kisah ini mengingatkan saya pada semangkuk rawon yang saya nikmati bersama sahabat-sahabat di masa kuliah. Bagi kami, makan rawon di warung sederhana itu adalah bentuk “kemewahan” di tengah kondisi ekonomi yang serba terbatas. Namun, di balik rasa kuah hitam yang kaya rempah itu, ada kenangan tentang kebersamaan, tawa, dan cerita-cerita yang menghangatkan hati. Hingga kini, setiap kali saya mencicipi rawon, aroma dan rasanya selalu membawa saya kembali ke masa-masa persahabatan itu, menghidupkan kembali wajah-wajah dan momen-momen berharga.
Hidangan Semangkuk Rawon. Foto: Dokumen Pribadi
Cerita tentang makanan dalam Mahabharata juga muncul dalam kisah Bhima, sang Pandawa yang dikenal sebagai koki ulung. Salah satu momen penting adalah ketika Bhima memasak hidangan untuk Duryodhana di Istana Pandawa. Makanan yang disajikannya bukan hanya soal rasa, tetapi juga lambang kasih sayang, keberanian, dan kecerdasannya sebagai seorang juru masak.
Ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi dengan semangkuk bakso. Ketika anak-anak masih kecil, saya sering membawa makan ke gerobak bakso di ujung gang sebagai penghargaan kecil atas nilai bagus yang telah mereka raih di sekolah. Bakso itu menjadi lebih dari sekadar makanan; ia adalah bahasa cinta yang sederhana tetapi penuh makna. Dari semangkuk bakso, saya belajar bahwa penghargaan dan cinta sejati sering muncul dalam bentuk yang paling sederhana, tetapi dampaknya begitu mendalam dan abadi.
Hidangan Semangkuk Bakso. Foto: Dokumen Pribadi
Kisah Krishna dan Sudama juga menggambarkan makanan sebagai simbol cinta yang tulus. Ketika Sudama, sahabat masa kecil Krishna, datang ke istana dengan membawa sisa makanan yang sederhana, Krishna menerimanya dengan penuh rasa syukur dan memakannya tanpa peduli bentuk atau rasanya. Bagi Krishna, makanan itu bernilai karena cinta dan keikhlasan yang menyertainya.
Kisah ini seolah hadir kembali dalam pengalaman saya menikmati sepiring gudeg di Yogyakarta pada perjalanan pertama saya ke kota itu. Gudeg sederhana di sebuah warung kecil terasa begitu istimewa, bukan hanya karena rasanya yang manis dan lezat, tetapi juga karena suasana penuh kehangatan dan keakraban yang menyertainya. Sepiring gudeg itu, seperti makanan Sudama, mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kemewahan, tetapi pada keikhlasan dan rasa syukur.
Makanan, baik dalam kisah Mahabharata maupun dalam hidup sehari-hari, selalu menjadi lebih dari sekadar kebutuhan fisik. Ia adalah medium untuk berbagi rasa, mengenang masa lalu, dan mempererat hubungan. Semangkuk rawon membawa saya kembali ke masa persahabatan, semangkuk bakso menjadi simbol cinta dan ksih sayang, dan sepiring gudeg menyampaikan pelajaran tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan. Makanan menghubungkan kita dengan masa lalu, menghadirkan kembali momen-momen yang membentuk diri kita.
Dalam setiap suapan, ada cerita. Makanan mengingatkan kita akan siapa kita, dengan siapa kita berbagi kebahagiaan, dan bagaimana rasa syukur hadir dalam hal-hal sederhana. Seperti periuk Akshaya Patra yang tidak pernah habis, makanan selalu memberikan rasa hangat yang menghubungkan kita dengan kenangan yang abadi. Makanan adalah album kenangan yang tak lekang oleh waktu, penjaga momen-momen berharga yang membuat hidup kita penuh makna.
Pakuwon City Laguna, November 2024
December 2, 2024 at 10:07 pm
Much. Khoiri
Tulisan yang bagus dan berisi