November 7, 2024 in Uncategorized

BATIK LAWAS dan KOPDAR

BATIK LAWAS dan KOPDAR

Oleh; Telly D.


Jika kamu mengikuti Kopdar 3 Rumah Virus Literai (RVL) di Malang dan sempat memperhatikan aku ketika mengikuti acara pembukaan, kamu akan tahu bahwa aku mengenakan batik lawas istimewa yang dipadu dengan baju kemeja hitam. Aku juga masih memakai selendangnya yang aku sampirkan di bahu.

Batik istimewa itu adalah peninggalan ibu, sebuah kain dengan motif tradisional Palembang yang berusia lebih tua dari anak sulungku. Waktu telah mengubah warnanya menjadi sedikit pudar, tetapi kesan dan kenangan yang terukir di atasnya masih terang di dalam ingatanku.

Seminggu sebelum mengikuti Kopdar 3 RVL ke Malang aku menarik batik itu dari tempat penyimpanannya, sehelai kain yang selama ini tersimpan rapi, jarang sekali digunakan, hanya sesekali kuangin-anginkan dan kubiarkan merasakan sinar matahari di halaman rumah.

Batik itu saksi perjalanan hidupku, bukti kasih ibu yang menyerahkannya dengan pesan agar kujaga baik-baik. Batik itu dihadiahkan ibuku tiga puluh sembilan tahun lalu, hanya seminggu setelah aku menikah. Kala itu, kami sedang duduk di meja makan, tempat segala kasih dan didikan ibu tersaji, tempat di mana aku pertama kali belajar tentang kehidupan, tentang kekuatan seorang ibu. Sambil menikmati hidangan sederhana di atas meja, bapak memberitahu bahwa aku harus segera bersiap-siap meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan baru.

Perkataan bapak menyesakkan dada, tak terbayangkan sebelumnya bahwa perpisahan ini begitu dekat. Meski telah siap berumah tangga, aku belum siap benar-benar meninggalkan rumah, apalagi hanya seminggu setelah pernikahan. Diam-diam, aku menatap bapak dengan pandangan tajam, menikam penuh penolakan, berharap ia memahami betapa beratnya perasaan ini.

Ibu yang mengerti perasaanku tanpa aku ucapkan, berdiri merengkuhku dalam pelukannya yang hangat dan berbisik, “Ambillah apa saja yang kau suka, Nak, untuk memulai hidup barumu, ini waktu yang tepat bagimu.”

Hari itu, aku memilih bukan hanya barang-barang, melainkan bagian dari kenangan masa kecilku. Aku meminta meja belajar, tempat pertama aku mengeja kata, juga meja makan keluarga yang penuh kenangan makan bersama. Aku meminta mesin jahit ibu, yang menghasilkan baju-baju terindah yang selalu saya pakai, panci-panci, wajan dan piranti makan yang selalu memenuhi dapur dengan aroma masakan ibu, bahkan beberapa perhiasan emasnya. Dan tentu saja, aku memilih batik kesayangannya. Batik dengan tinta prada yang anggun, dengan keindahan motif klasik.

Bertahun-tahun, batik ini kusimpan dengan penuh kehati-hatian, tersimpan rapi dalam tabung bekas gulungan film. Aku takut menggunakannya, aku tak ingin batik ini hilang pesonanya. Hanya sesekali kugelar dan kusiapkan untuk diangin-anginkan, lalu kembali kusimpan. Kain ini bagiku adalah kehadiran ibu yang terus hidup, meski ia sudah tiada.

Kini, memasuki masa pensiun, aku menyadari bahwa banyak dari barang-barang yang kusayangi mulai kubagikan kepada orang-orang yang menyukainya. Namun, batik ini tetap kusimpan. Batik yang kini kubawa ke Malang, sebagai pengikat kenangan dan sebagai tanda yang penuh makna. Saat mengenakan batik ini, rasanya seperti kembali dalam pelukan ibu, seolah bersamanya di tengah suasana penuh penghargaan. Juga sebagai penghormatan atas budi ibu menanamkan semangat membaca dan menulis di dadaku sejak kecil.

Namun, ketika langkah pertamaku menaiki anak tangga, kudengar suara retakan kecil dari arah kain batik itu. Bunyi “pret” yang halus, hampir tak terdengar, tapi cukup membuatku terdiam sejenak. Kain itu sobek sedikit di pinggirnya, seolah memberiku sinyal bahwa ia telah menua dan mungkin rapuh.

Aku melanjutkan langkah dengan hati-hati, berharap kain ini tetap bertahan. Saat mendekati ruang pertemuan, terdengar lagi suara yang sama. Kali ini lebih nyaring, namun aku tetap berusaha menjaga batik itu agar tetap utuh.

Namun, saat duduk di meja pembukaan, sebuah suara retakan ketiga terdengar, memberiku tanda bahwa batik ini memang telah rapuh. Hati-hati aku duduk, memastikan agar tidak membuat kerusakan lebih parah. Selesai acara, aku menuruni tangga perlahan, dan betapa sedihnya saat kusadari bahwa batik ini telah sobek di beberapa bagian. Melihatnya begini, aku diliputi kesedihan yang dalam, seperti menyaksikan kenangan yang tak lagi dapat kuselamatkan.

Di dalam kamar wisma, aku memeluk kain itu dengan penuh kasih, seolah memeluk kenangan ibu yang telah lama meninggalkanku. Air mataku jatuh perlahan, bersama doa dan Al-Fatihah yang kuhadiahkan untuk ibu. Betapa batik ini telah menjadi saksi dari cinta kasih yang tak lekang oleh waktu, dan betapa perasaan sayangku padanya justru membuatnya lapuk, karena terlalu lama kusimpan dan jarang kugunakan.

Malam itu, batik itu tetap kusimpan, meski kini dalam keadaan yang tidak lagi sempurna. Ada pelajaran yang kuterima dari kejadian ini. Seperti halnya cinta dan kenangan, tak seharusnya hanya disimpan atau ditakutkan usang, perlu dirasakan, dipakai, dan dijadikan bagian dari perjalanan. Cinta yang sejati adalah yang tetap dikenang dan dirawat dengan hati, bukan hanya dijaga agar tak berubah, tetapi juga dihidupkan dan dibagikan.

Sepulangku, kini batik itu tidak lagi kusimpan dalam tabung gulungan film. Biarlah ia menua bersamaku, menjadi bagian dari perjalanan yang pernah kujalani. Batik kenangan yang hidup, yang telah menemaniku sepanjang waktu, dan akan terus mengingatkan pada kehangatan ibu. Aku berjanji, mulai hari ini, untuk lebih berani merawat kenangan, bukan dengan menyimpannya, tapi dengan menghidupkannya, menghidupi kehadirannya, meski mungkin kelak akan usang juga.

Makassar, 5 November 2024




One Comment

  1. November 12, 2024 at 1:04 am

    Sri Rahayu

    Reply

    So sweet…Memorable bingit…Berbahagialah Bunda memiliki seorang Ibu yang perhatian banget…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree