Hukum Tajam ke Bawah, Lucu ke Atas
Hukum Tajam ke Bawah, Lucu ke Atas
Oleh: Telly D.
Judul tulisan di atas hasil dari membaca tulisan yang ada di belakang mobil truk, tulisan yang merupakan sindiran, mengkritik ketidaksetaraan dimana hukum ditegakkan dengan kejam terhadap orang-orang yang lemah (bawah), namun seolah-olah main-main atau tidak serius terhadap orang-orang yang kuat dan berpengaruh (atas). Tulisan ini ril adalah protes terhadap bias dan ketidakadilan dalam sistem hukum.
Pernahkah kita merenung sejenak, memikirkan nasib hukum di negeri ini?
Kalau hukum itu diibaratkan sebilah pedang, tampaknya ia sering kali hanya diasah tajam untuk rakyat jelata, tapi ketika pedang itu diayunkan ke para elit, tiba-tiba jadi tumpul, bahkan kadang berubah jadi mainan yang bisa memancing tawa. Hal ini melahirkan ungkapan jenaka sekaligus menohok: “Hukum tajam ke bawah, ke atas lucu.”
Mari kita mulai dari bagian “tajam ke bawah.” Bayangkan hukum ini seperti tukang cukur, yang guntingnya selalu tajam dan cekatan jika berurusan dengan rakyat kecil. Ketika seseorang yang kurang beruntung tersandung masalah hukum, meski hanya sepeleh misalnya hanya mencuri sebatang singkong karena lapar hukum langsung beraksi tanpa kompromi. Vonis dijatuhkan secepat kilat, seolah-olah singkong itu adalah harta karun yang tak ternilai.
Tapi, apakah hukum sama tajamnya ketika berhadapan dengan orang-orang yang di atas? Nah, di situlah letak “kelucuan” ini dimulai.
Nah, sekarang kita sampai di bagian “ke atas lucu.” Begini, kalau hukum itu seorang komedian, maka pentas lawak terbaiknya adalah di hadapan para penguasa, orang kaya, atau mereka yang punya kekuatan. Lihat saja, ketika mereka melakukan pelanggaran katakanlah korupsi miliaran rupiah atau kejahatan besar lainnya proses hukumnya bisa seperti pertunjukan sinetron.
Mulai dari sidang yang berlarut-larut, drama sakit mendadak, hingga hukuman yang lebih mirip hadiah liburan. Alih-alih tegas dan serius, hukum di sini berubah menjadi sebuah pementasan komedi yang mengundang tawa getir bagi kita yang menyaksikan dari jauh.
Rakyat di bawah sering kali tersenyum getir melihat ini semua. Bagaimana mungkin singkong bisa membawa seseorang ke penjara dengan cepat, sementara triliunan rupiah hilang dari kas negara namun pelakunya masih bisa tersenyum di balik kamera?
Mungkin rakyat yang kecil bisa memaklumi kalau mereka dianggap seperti anak nakal yang harus segera dihukum. Tapi, mengapa mereka yang di atas seolah-olah dianggap seperti pemain sandiwara yang bisa dengan mudah mengundang tawa? Apakah hukum kita punya selera humor yang aneh?
Ada keajaiban lain yang terjadi dalam hukum ini. Ketika hukum menghadapi yang di bawah, ia begitu tajam, tegas, dan tak kenal kompromi. Tapi, ketika naik ke atas, hukum tampaknya berubah menjadi pelawak handal. Ia bisa menyelipkan komedi situasi: pejabat yang seharusnya dipenjara justru bisa berlibur, atau koruptor yang “sakit” tiba-tiba sembuh setelah vonis ringan. Mungkin kita bisa tertawa, tapi itu tawa yang disertai air mata, tertawa di atas ketidakadilan.
Akhirnya, kita bertanya-tanya, apakah ini lelucon yang dipertunjukkan untuk kita? Atau mungkin ini hanya pengingat bahwa supremasi hukum seharusnya tidak hanya menjadi slogan? Di mana hukum benar-benar tegak lurus, tanpa peduli siapa yang ada di bawah dan siapa yang di atas. Karena jika hukum terus menerus “tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” kita akan terus hidup dalam panggung sandiwara yang lebih mirip dagelan daripada kehidupan nyata.
Maka, wahai para penegak hukum, jika engkau memang suka bercanda, setidaknya bercandalah dengan adil. Biarlah semua tertawa bersama-sama, bukan hanya para penguasa yang menikmati humormu. Dan biarkan rakyat kecil merasakan bahwa tawa mereka bukanlah tawa getir yang dipaksakan, melainkan tawa yang lahir dari keadilan yang sesungguhnya.
Makassar, 23 September 2023
Leave a Reply