Rindu yang Tertahan

Rindu yang Tertahan
Oleh: Telly D.
Dua tahun lalu, Nurhayati (58) mengira doanya telah dijawab. Namanya masuk daftar haji furoda jalur undangan yang tidak memerlukan antrean belasan tahun seperti haji reguler. Ia menjual sawah, menutup tabungan pensiun, dan membayar biaya tiga kali lipat harga normal. Ia bahkan sudah membeli koper dan gamis putih untuk hari bersejarah itu.
Namun sehari sebelum keberangkatan, telepon dari agen travel datang. “Bu, visanya tidak keluar,” kata suara di seberang. Sejak itu, Nurhayati tak lagi bisa bicara lancar tentang Mekkah. Bahkan menyebut “Ka’bah” pun membuat matanya basah.
Haji adalah rukun Islam kelima. Tapi bagi jutaan umat Islam hari ini, ia juga menjadi ujian sosial dan ekonomi. Arab Saudi, sebagai tuan rumah, membatasi kuota tiap negara, biasanya 0,1% dari jumlah penduduk Muslim. Dengan populasi lebih dari 230 juta, Indonesia mendapat kuota sekitar 220 ribu per tahun. Tapi antrean haji reguler bisa mencapai 20-30 tahun di beberapa provinsi.
Di balik data itu ada ironi batin: ketika kerinduan pada Tanah Suci tak lagi dijawab dengan panggilan spiritual, tapi dengan nomor antrean. Ketika sujud di hadapan Ka’bah menjadi bergantung pada nomor porsi, bukti setor, dan birokrasi.
“Seharusnya haji menjadi panggilan Tuhan, tapi kini terasa seperti panggilan sistem,” “Itu pun belum tentu bersih dari manipulasi.”
Dalam lima tahun terakhir, jalur haji furoda makin populer. Jalur ini memungkinkan umat Islam berangkat tanpa antre karena mendapat undangan langsung dari pemerintah Arab Saudi. Tapi peluang ini menjadi lahan bisnis travel-travel nakal. Banyak calon jemaah tergiur janji berangkat cepat, tanpa menyadari bahwa visanya belum tentu keluar.
“Dalam haji furoda, tak ada jaminan pasti berangkat. Tapi banyak agen menjualnya seolah-olah pasti,” jelas Ust. Rifky Ahmad, pegiat advokasi jemaah haji. “Yang lebih menyedihkan, kerugian tak sekadar materi. Ada kerugian batin yang tak bisa diganti.”
Salah satu korbannya bahkan mengalami depresi berat. “Ibu saya bilang, mungkin Allah tak menerima dia sebagai tamu-Nya,” kata anak dari calon jemaah gagal berangkat asal Makassar.
Komersialisasi ibadah haji bukan hanya soal biaya. Ia juga menyentuh dimensi terdalam dari ibadah: makna kehambaan. Ketika fasilitas premium menjadi pembeda antara “jemaah biasa” dan “jemaah istimewa,” muncul jurang yang merusak kesetaraan yang seharusnya menjadi inti dari ibadah ini.
Padahal, dalam ihram, semua manusia seharusnya sama. Tak ada gelar, tak ada status, tak ada privilese. Tapi realitas berkata lain. Kelas-kelas penginapan, bus eksklusif, bahkan akses terdekat ke jamarat menunjukkan bahwa haji kini juga mengenal kasta.
“Kami disuruh sabar antre lontar jumrah, sementara rombongan VIP lewat jalur khusus,” kata Mujiono, jemaah haji dari Palembang. “Padahal kami sama-sama haji.”
Meski penuh dengan keterbatasan dan ketimpangan, banyak jemaah justru menemukan makna terdalam haji dalam kondisi yang semrawut itu. Di tengah panas, desak-desakan, dan kelelahan fisik, muncul perenungan mendalam tentang hakikat diri.
Haji adalah tempat di mana orang merasa tak berdaya. Dan dalam ketakberdayaan itulah, kata Imam Al-Ghazali, manusia paling dekat dengan Tuhannya.
Mereka yang gagal berangkat tahun ini, yang visanya dibatalkan, yang uangnya hilang, mungkin justru mengalami pengalaman haji batin: rasa kehilangan, penyerahan total, dan kesabaran yang tak terucap.
Karena haji, sejatinya, bukan hanya perjalanan fisik ke Mekkah. Tapi perjalanan jiwa ke titik terdalam: tunduk, sabar, dan yakin bahwa Allah tahu isi hati para tamu yang belum sampai.
Suatu hari nanti, mungkin kita akan menemukan sistem haji yang lebih adil, lebih transparan, dan lebih manusiawi. Tapi sebelum itu terjadi, kita harus berani bertanya: apakah selama ini kita telah memperlakukan ibadah sebagai hak istimewa, atau sebagai kesempatan suci untuk belajar merendah?
Nurhayati kini menyimpan koper putihnya di lemari. Ia tidak lagi mengecek visa. Tapi setiap malam, ia masih berdoa: “Ya Allah, jika aku belum sampai Ka’bah, biarlah Ka’bah sampai ke hatiku.”
Karena Tanah Suci bukan hanya tempat. Ia juga perasaan. Dan tak ada birokrasi yang bisa menutup pintu hati yang terbuka.
“Yang terpenting bukan sampai ke Mekkah, tapi sampai pada pengakuan bahwa diri ini hamba.”
Makassar, Juni 2025
Leave a Reply