Ketika Identitas Menjadi Beban

Ketika Identitas Menjadi Beban
Oleh: Telly D. *)
Di lorong sebuah sekolah menengah atas negeri di Jakarta, seorang siswa berdiri gugup. Namanya Anya. Ia mengenakan jaket hitam, rambutnya pendek rapi, suaranya halus tapi matanya keras menatap. Di kelas, ia duduk paling belakang. Ia belajar dengan baik, namun setiap kali absen disebut “Anton”, wajahnya menegang.
“Kalau boleh memilih, aku cuma ingin dipanggil sesuai dengan yang aku rasa,” katanya lirih. “Bukan untuk menantang siapa-siapa. Aku hanya ingin tenang.”
Anya adalah satu dari banyak remaja hari ini yang bergulat dengan pertanyaan identitas. Bukan hanya soal laki-laki dan perempuan, tetapi juga tentang keabsahan menjadi diri sendiri di tengah masyarakat yang cepat memberi label dan lambat memahami.
Perdebatan soal identitas gender bukanlah fenomena asing di dunia. Tapi di Indonesia, ia datang dengan kompleksitas sendiri: antara adat, agama, sosial, dan digital. Di dunia maya, perbincangan soal non-binary, transgender, genderfluid melaju cepat. Di dunia nyata, banyak yang bahkan belum bisa membedakan antara jenis kelamin dan identitas gender.
Laporan dari Komnas Perempuan tahun 2024 menyebut bahwa kelompok gender non-normatif masih menjadi salah satu kelompok dengan tingkat diskriminasi sosial tertinggi, terutama di sektor pendidikan dan pekerjaan. Sementara itu, survei dari Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden masih merasa “tidak nyaman” berinteraksi dengan orang yang tidak sesuai norma gender mayoritas.
“Kenapa harus pakai label baru? Laki-laki ya laki-laki, perempuan ya perempuan,” kata seorang tokoh masyarakat dalam forum terbuka. Kalimat ini terdengar biasa. Tapi bagi Anya, dan banyak yang lain, ia menyakitkan.
“Kami tak sedang berusaha membuat dunia baru,” ujar Dimas, mahasiswa seni rupa yang lebih nyaman disebut “mereka” daripada “dia.” “Kami hanya ingin tempat di dunia yang sudah ada.”
Masalah identitas gender bukan tentang melawan nilai-nilai agama atau budaya. Ia tentang ruang. Tentang pengakuan. Tentang bertahan hidup di tengah dunia yang terlalu cepat menolak apa yang belum dipahami.
Banyak yang menuduh isu ini sebagai bagian dari arus “barat yang merusak moral.” Namun kenyataannya, sejarah nusantara mencatat keberagaman identitas jauh sebelum internet dan kampanye LGBTQ+ global hadir.
Di Bugis, kita mengenal lima spektrum gender: oroané, makkunrai, calalai, calabai, dan bissu. Dalam naskah Jawa kuno, ada tokoh-tokoh “waria suci” yang menjadi penjaga kebenaran. Dalam Islam sendiri, diskusi tentang khunsa dan batasan biologis telah lama dibicarakan dalam literatur fikih klasik.
K.H. Husein Muhammad, ulama dan pegiat kesetaraan gender, pernah menulis: “Keadilan tidak hanya soal hukum. Ia tentang memastikan bahwa setiap makhluk Tuhan diberi ruang untuk bernapas.”
Di dunia yang makin bising dengan debat politik, identitas gender sering dijadikan alat polarisasi. Di satu sisi, ada yang merasa agama mereka diserang. Di sisi lain, ada yang merasa keberadaan mereka dihapus.
Padahal, jika kita cukup diam dan mendengar, suara yang paling sering muncul adalah suara lemah: “Bisakah aku hidup tenang, tanpa harus terus membela diriku?”
Psikolog sosial dari UGM, Dr. Ratna Pratiwi, menjelaskan bahwa penerimaan terhadap identitas diri berkaitan erat dengan kesehatan mental. “Remaja yang tidak mendapat pengakuan identitasnya lebih rentan terhadap depresi, isolasi sosial, dan bahkan bunuh diri.”
Tidak semua orang siap memahami keragaman gender. Dan itu boleh saja, yang tidak boleh adalah menyakiti. Memukul hanya karena rambut tak sesuai norma. Mengusir hanya karena nama tidak cocok di KTP. Menertawakan hanya karena cara berjalan dianggap salah.
Karena sebelum manusia memilih identitasnya, ia sudah terlebih dahulu menjadi ciptaan Tuhan. Dan mungkin, tugas kita bukan untuk menyetujui, tapi untuk menemani. Bukan untuk menilai, tapi untuk mengakui bahwa rasa aman dan dihargai adalah hak setiap orang bukan hadiah.
Mereka yang berjuang dengan identitas bukan sedang mencari perhatian. Mereka sedang mencari rumah. Tempat mereka bisa menjadi diri sendiri. Tanpa takut. Tanpa sembunyi. Di dunia yang sibuk menilai, menjadi diri sendiri adalah bentuk keberanian tertinggi.
Makassar, Juni 2025
*) Daswatia Astuty lebih dikenal dengan nama pena Telly D. Penasihat Rumah Virus Literasi (RVL), Pegiat Literasi, Pekerja Sosial Kemanusiaan, Pemerhati Pendidikan dan Penulis 60 Judul buku
Leave a Reply