Tahu Banyak, Tapi Tak Tahu Cara Hidup

Tahu Banyak, Tapi Tak Tahu Cara Hidup
Oleh: Telly D.
Saya punya dua asisten rumah tangga masih muda, usia 22 dan 19 tahun. Latar belakang akademik mereka tidak mengecewakan. Nilai matematika dan pelajaran lainnya di atas delapan. Tapi menyusun kotak makan ke dalam kulkas saja, mereka tampak kebingungan. Tak ada efisiensi, tak ada logika ruang. Membersihkan rumah pun hanya sebatas menyapu, melap baru dilakukan setelah diberi instruksi. Semuanya harus diperintah satu per satu. Inisiatif? Hampir nihil. Begitu pula dengan kesadaran membaca situasi.
Saya tak hendak merendahkan mereka. Tapi ini membuka mata saya tentang sesuatu yang lebih dalam. Bahwa generasi yang katanya paling cerdas dan digital. Generasi Z, mereka yang lahir antara 1997–2012 seringkali cemerlang di atas kertas, namun rapuh dalam praktik hidup. Mereka bisa menjawab soal HOTS, tetapi tak mampu menyusun prioritas harian. Mereka paham konsep teamwork dalam teori, tetapi menghindar dari kerja kolektif tanpa arahan eksplisit.
Sekolah telah berhasil mencetak anak-anak dengan nilai akademik tinggi. Tapi nilai bukan jaminan punya daya hidup. Psikolog Angela Duckworth menyebut grit, kegigihan, semangat jangka panjang, dan ketahanan terhadap tantangan sebagai penentu utama kesuksesan. Sayangnya, banyak dari Gen Z tidak dilatih mengembangkan grit. Mereka jarang diberi ruang gagal dan terlalu sering diselamatkan dari ketidaknyamanan.
Mereka tumbuh dengan “aturan cepat tanggap”: internet cepat, jawaban instan, dan dunia yang mengutamakan hasil visual daripada proses. Ini membentuk karakter yang cepat menyerah, tidak sabaran, dan menghindari proses yang tak terlihat hasilnya dalam waktu dekat. Maka tak heran jika pekerjaan sederhana sekalipun terasa berat tanpa mampu memberi hasil segera.
Karakter semacam ini bukan hanya mengganggu tatanan rumah tangga. Di dunia kerja, ini bisa menjadi bumerang. Bayangkan karyawan yang menunggu instruksi rinci untuk setiap detail, yang hanya mengerjakan apa yang tertulis, tanpa inisiatif. Tak bisa membaca kode situasi, tak tanggap terhadap sinyal sosial atasan atau rekan. Dalam jangka panjang, mereka akan kesulitan berkembang dalam tim, lambat naik jabatan, dan sering menjadi sumber frustrasi bagi kolega.
Komunikasi pun menjadi persoalan. Karena mereka terbiasa menyela, tidak sabar menyimak, dan lebih reaktif daripada reflektif. Mereka menuntut ruang dipahami, tetapi jarang memberi waktu untuk memahami orang lain. Dalam hubungan personal maupun profesional, ini akan menjadi ganjalan besar.
Mengapa Ini Terjadi?
Budaya serba cepat yang melahirkan mereka, ironisnya, tak memberi ruang untuk mengakar. Kita terlalu sibuk menjejalkan pengetahuan tanpa menanamkan kearifan. Terlalu fokus pada “apa yang harus diketahui,” bukan “bagaimana harus hidup.” Pendidikan formal tidak mengajarkan bagaimana memahami standar kebersihan, memesrakan relasi sosial, atau berempati secara praktis. Padahal, dunia nyata menuntut semua itu bukan hafalan, tetapi kebiasaan yang lahir dari kepekaan.
Dan di rumah, banyak orang tua pun mengalah terlalu cepat. Takut anak kecewa, akhirnya membiarkan mereka tak bersusah payah. Tak heran jika banyak Gen Z yang sangat capable, tapi tidak reliable. Cerdas, tapi tak tahan dibimbing. Punya potensi, tapi malas diasah.
Maka, Kita Harus Menjadi Cermin dan Sekaligus Penuntun
Saya mulai menulis instruksi kerja mereka satu per satu: standar pembersihan, tata letak dapur, hingga foto rak kulkas yang rapi. Seolah sedang mengajari anak SD. Tapi saya sadar, ini bukan salah mereka sepenuhnya. Dunia dewasa terlalu berharap mereka bisa membaca kode yang tidak pernah diajarkan.
Namun, jika mereka tidak segera dilatih untuk berpikir komprehensif, memahami kebutuhan tak terucap, dan bertindak sebelum disuruh, maka mereka bukan hanya akan kesulitan di rumah. Di kantor, mereka akan tertinggal. Dalam kehidupan sosial, mereka akan dianggap tidak peka. Dalam relasi, mereka bisa menjadi beban emosional bagi orang lain.
Kehidupan tak selalu hadir dalam bentuk instruksi tertulis. Dunia kerja, pernikahan, bahkan ibadah semuanya membutuhkan kecerdasan membaca situasi, bukan sekadar mengerjakan perintah. Generasi Z perlu diajari ulang: bahwa kerapian tidak hanya soal estetika, tapi cermin jiwa. Bahwa bersih bukan sekadar bersih lantai, tapi bersih batin dan sikap. Bahwa pekerjaan rumah bukan pekerjaan rendah, tapi latihan menghormati ruang tempat kita hidup.
Dan kita yang lebih dulu berjalan di dunia ini, jangan bosan menjadi peta bagi mereka. Karena ilmu bisa dicari, tapi kearifan harus diteladani.
Makassar, Juni 2025
June 11, 2025 at 4:36 am
Sumintarsih
Bagian akhir selalu nendang ….