Haji dan Ujian Kesabaran

Haji dan Ujian Kesabaran
Oleh: Telly D.
Tak ada yang benar-benar bisa mempersiapkan diri untuk berhaji, selain niat yang ikhlas dan hati yang lapang. Sebanyak apa pun aku membaca buku manasik, mendengar cerita dari jemaah yang sudah pulang, atau menonton video persiapan haji, nyatanya semua itu tak sepenuhnya menggambarkan ujian kesabaran yang kutemui di Tanah Suci.
Dari awal keberangkatan, tantangan sabar sudah mulai terasa. Penantian panjang di bandara, prosedur berlapis, barang yang tertukar, hingga tubuh yang mulai lelah karena tidur tak teratur. Tapi semua itu masih terasa wajar, namanya juga perjalanan jauh. Aku belum tahu, ujian sabar yang sesungguhnya baru akan datang di tempat yang justru paling dekat dengan Allah.
Hari-hari di Makkah berjalan cepat tapi padat. Di Masjidil Haram, lautan manusia tak pernah surut. Berdesakan saat thawaf, tersenggol saat sa’i, kaki yang bengkak karena terlalu lama berdiri, belum lagi bau keringat yang bercampur debu panas menyergap setiap kali keluar dari hotel. Ada kalanya aku harus menahan lapar karena antre makanan yang tak kunjung habis. Ada kalanya harus bersabar dengan suara keras dari jemaah lain yang juga sama-sama lelah dan ingin didengar.
Di tengah semua itu, aku belajar satu hal penting: sabar bukan hanya menahan marah saja, tapi menata ulang hati agar tetap tenang meski semua terasa tak ideal. Sabar berarti tidak membalas tatapan sinis, tidak menggerutu saat tertunda, dan tetap tersenyum meski pundak rasanya ingin roboh.
Puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina membuka bab baru dari ujian kesabaran itu. Tidur di tenda yang sempit, berbagi kamar mandi dengan ratusan orang, antre air bersih, bahkan antre untuk sekadar duduk sebentar. Semua dilakukan di bawah terik matahari yang tak main-main. Di Mina, panasnya menusuk kulit, debu berterbangan, suara gaduh tiada henti. Tapi justru di tempat itulah, aku merasa sabar benar-benar diuji dari arah yang tak terduga.
Ada satu malam di Muzdalifah yang tak akan kulupa. Aku terjaga di antara kerikil dan udara dingin. Tak ada bantal, tak ada selimut. Hanya langit yang terasa begitu luas di atas sana. Aku menatap langit sambil bertanya, “Ya Allah, inikah caranya Engkau mengajariku sabar?”
Ternyata memang begitu. Haji ibadah rukun Islam kelima. Ia adalah latihan batin, ujian yang menyentuh sisi paling dalam dari diri kita. Ia melatih kita agar bisa sabar, bukan hanya dalam hal besar, tapi juga dalam hal-hal sepele yang seringkali membuat kita terpancing: sabar saat tidak diperlakukan adil, sabar saat merasa diabaikan, sabar saat harus mendahulukan orang lain.
Setiap langkah dalam haji, dari tawaf hingga melempar jumrah, langkah ritual yang mengandung pelajaran. Kita disuruh berdesakan agar belajar menahan ego. Kita diajak menunggu agar tahu rasanya rendah hati. Kita diuji kenyamanannya agar mengerti bahwa sabar adalah kunci untuk sampai kepada-Nya.
Kini setelah kembali ke tanah air, yang paling melekat bukan hanya momen mencium Hajar Aswad atau berdiri di Arafah. Yang paling membekas justru adalah momen-momen kecil saat aku harus memilih diam, memilih tersenyum, memilih mengalah. Di situlah aku sadar: sabar itu tidak terlihat besar, tapi dampaknya menyelamatkan hati.
Dan mungkin, itulah bekal sejati dari haji. Bukan oleh-oleh kurma atau air zamzam, tapi kemampuan untuk bersabar dalam kehidupan setelahnya. Karena hidup, pada akhirnya, adalah rangkaian panjang ujian, dan haji telah memberi gambaran nyata: siapa yang bersabar, dialah yang akan sampai.
Makassar, Mei 2025
May 29, 2025 at 5:02 am
Aria499
https://shorturl.fm/FIJkD