Antara Sabar dan Siasat

Antara Sabar dan Siasat
Oleh: Telly D.*)
Hari itu, panas menggigit di padang Arafah. Seorang perempuan paruh baya tergopoh membawa botol minum untuk suaminya yang tak kuat antre toilet. Di sekelilingnya, antrean membeludak, suara keras petugas terdengar menyuruh cepat, sementara sebagian jemaah lansia duduk kelelahan di trotoar. Tak ada satu pun yang memprotes. Semua menunduk. Beberapa menyeka keringat sambil bergumam lirih, “ujian sabar, ya Bu… biar mabrur.”
Ibadah haji memang bukan hanya perjalanan spiritual. Ia adalah ujian lahir dan batin. Rangkaian ritusnya menguras tenaga, menyita emosi, dan menuntut ketundukan total. Karena itulah, kata “sabar” menjadi mantra yang paling banyak terdengar di tanah suci. Tak hanya dari para pembimbing, tapi juga dari jemaah sendiri. Sabar karena terlambat makan. Sabar karena bus tak kunjung datang. Sabar karena terpisah dari rombongan. Sabar karena tak nyaman tidur, antre mandi, dan bahkan sabar melihat jemaah lain yang menyela antrean.
Namun dalam diam kolektif itu, muncul pertanyaan yang menggugah nurani: benarkah semua kesabaran itu lahir dari keimanan? Ataukah ada sesuatu yang lebih struktural sedang bekerja, rasa takut, ketundukan sistemik, atau bahkan budaya menormalisasi pelayanan buruk atas nama spiritualitas?
Kesabaran dalam ibadah adalah keutamaan. Tapi ketika semua ketidaksempurnaan layanan bahkan yang jelas-jelas akibat kelalaian manusia dimaafkan tanpa suara, kita patut bertanya: apakah itu kesabaran, atau ketidakberdayaan?
Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut gejala ini sebagai kekerasan simbolik ketika masyarakat menerima ketimpangan sebagai sesuatu yang wajar, bahkan takdir. Dalam konteks ibadah haji, pembungkaman ini makin rumit karena dibalut dalil. “Jangan banyak komplain, nanti hajimu tak mabrur,” begitu ujar sebagian pembimbing. Komplain dianggap perusak niat. Marah ditafsirkan sebagai cacat spiritual. Dan bersuara bisa memicu kecurigaan sebagai jemaah yang “tidak ikhlas.”
Padahal, tidak semua yang buruk adalah takdir. Tidak semua keterlambatan adalah cobaan ilahiah. Banyak yang sesungguhnya bisa dicegah jika manajemen dilakukan dengan benar. Tapi di tanah suci, protes semacam itu dianggap tidak etis, bahkan nyaris tabu.
Tahun lalu, Kementerian Agama RI mencatat sejumlah insiden selama penyelenggaraan haji mulai dari keterlambatan katering, tenda yang kelebihan kapasitas, hingga transportasi yang tak sesuai jadwal. Namun, nyaris tak ada sorotan tajam dari publik. Sebagian besar jemaah justru menyalahkan diri sendiri. “Kami terlalu banyak dosa,” kata seorang jemaah dari Makassar saat ditanya mengapa tak komplain. “Mungkin ini penebusan.”
Dalam konteks ini, sabar telah menjelma menjadi instrumen penjinak. Bukan lagi cermin keteguhan iman, tapi alat kontrol sosial yang membungkam kritik.
Kita lupa bahwa Rasulullah manusia paling sabar juga tegas dalam menegur ketidakadilan. Ia membela hak kaum miskin, menegur pedagang yang curang, bahkan mengatur sistem pelayanan jamaah haji di masa Makkah. Beliau tidak berkata, “Bersabarlah dan diam.” Tapi justru berkata, “Tolonglah saudaramu yang dizalimi.”
Lalu mengapa kini, dalam ruang ibadah yang katanya paling murni, suara kritis justru dipendam dalam-dalam? Mengapa memperjuangkan hak dianggap bertentangan dengan keikhlasan?
Saya teringat cerita dari seorang petugas haji yang telah bertugas lebih dari lima musim. Ia berkata, “Kadang kami tahu ada kekurangan. Tapi karena jemaah diam, tak ada yang diperbaiki. Padahal kalau mereka bicara, kita bisa sampaikan ke pihak Arab Saudi atau ke penyelenggara.”
Diam dalam ibadah bukanlah keutamaan jika ia menjadi alasan untuk membiarkan kelalaian. Sebab sabar bukan berarti pasrah tanpa daya. Sabar adalah tetap teguh dalam prinsip, sekaligus tahu kapan harus bersuara. Ibadah tidak melulu tentang menerima, tapi juga tentang mengingatkan. Karena dalam diam yang terlalu lama, kita justru menunda perubahan yang seharusnya terjadi.
Kesabaran adalah ladang pahala. Tapi ladang itu tak akan tumbuh jika hanya diisi pengabaian dan pembiaran. Di negeri kita, kata “sabar” terlalu sering digunakan untuk menoleransi sistem yang gagal. Dari pelayanan publik yang lamban, fasilitas pendidikan yang buruk, sampai ke ibadah haji yang tak sepenuhnya tertib. Semua dibungkus dalih ujian dan keikhlasan.
Sudah saatnya kita membedakan antara ujian Tuhan dan kekeliruan manusia. Karena Tuhan tidak pernah meminta kita untuk diam menghadapi ketidakadilan. Justru karena kita menyembah-Nya, kita harus berani menyuarakan perbaikan.
Dan bila memang haji itu mabrur, ia seharusnya melahirkan umat yang tidak hanya sabar, tapi juga peduli. Tidak hanya khusyuk berdoa, tapi juga berani menyampaikan kebenaran di tanah suci maupun di tanah sendiri.
Makassar, Mei 2025
*) Penulis adalah Penasihat Rumah Virus Literasi (RVL), Pemerhati Pendidikan, Pekerja sosial kemanusiaan dan penulis dengan 45 judul buku.
May 31, 2025 at 8:02 am
Johnny4686
https://shorturl.fm/fSv4z
May 29, 2025 at 5:01 am
Andrew4648
https://shorturl.fm/a0B2m
May 28, 2025 at 12:34 pm
Anika3724
https://shorturl.fm/A5ni8