UJIAN RAMADAN

Pentigraf
UJIAN RAMADAN
Oleh: Telly D.
Daeng Gassing, lelaki tambun dengan semangat Ramadan yang membara. Meski setiap hari menghisap asap rokok dan meminum kopi hitamnya yang pekat, ia tak pernah sekalipun melewatkan puasa. Ia mampu bertahan tanpa setetes air dan sepotong makanan, seperti gunung batu yang kokoh menghadapi terik siang. Namun, begitu azan maghrib berkumandang, ketahanannya runtuh. Ia berubah menjadi singa yang mengaum kelaparan, segala macam makanan dimasukkan ke dalam tubuhnya. Gelas es teh manis dan kopi panas berjajar di hadapannya, bersanding dengan kue-kue manis, ikan bakar, ayam goreng, dan daging berempah. Ia makan tanpa jeda, tanpa batas, seolah perutnya adalah sumur yang tanpa dasar.
Setiap malam, ia tertidur kekenyangan, perutnya membuncit. Sisa-sisa makanan berserakan di meja, sebagian berakhir di tempat sampah tanpa sempat disentuh. Orang-orang mengingatkan agar ia lebih bijak dalam berbuka, tapi Daeng Gassing hanya tertawa, “Puasa itu menahan lapar, jadi berbuka harus mengganti semua yang hilang!” hingga tiba malam terakhir Ramadan. Ia baru separuh jalan menyantap hidangan berbuka ketika tiba-tiba perutnya melilit hebat. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir, dan dalam hitungan menit, ia sudah tergeletak di ranjang rumah sakit.
Dokter menghela napas sambil menggeleng. “Pak, perut bapak lupa cara menahan lapar hanya tahu cara makan berlebihan.” Daeng Gassing menyadari, kali ini bukan puasanya menguji ketahanannya, tetapi perutnya sendiri.
Makassar, 11 Januari 2025
Leave a Reply