AKHIR DARI SAHUR

Pentigraf
AKHIR DARI SAHUR
Oleh: Telly D.
Jaka adalah pekerja percetakan yang setiap hari pulang dalam keadaan tubuh seperti kertas yang nyaris lecek. Ramadan seharusnya menjadi bulan yang penuh keberkahan, tapi baginya, itu berarti pulang larut, berbuka dengan tergesa, dan tarawih dalam kantuk. Setiap malam, ia mengomel, tetapi omelannya hanya menggema di dinding rumah tanpa solusi. Malam itu pun sama, ia pulang dengan tubuh remuk, namun tetap berusaha menunaikan ibadah sebelum tidur. Dalam hati, ia berharap sahurnya lancar agar puasanya tidak terasa berat.
Namun, harapan hanyalah angan-angan yang kerap dipatahkan waktu. Saat matanya terbuka, suara azan subuh hampir berkumandang. Panik, ia bangkit dengan mata setengah terpejam, rambut acak-acakan, dan mulut yang masih terasa kering. Heran aku yang membangunkan. Sambil meraih gelas pertama yang terlihat, istrinya yang sedang melipat sajadah, menoleh santai. “Dibangunin berkali-kali, Mas! Tapi Mas lebih setia sama bantal daripada sahur.” Tanpa pikir panjang, Jaka meneguk isi gelas itu dengan rakus.
Begitu cairan melewati tenggorokannya, wajahnya berubah seketika. Ia tersedak, matanya membelalak. Itu bukan air putih penyegar dahaga, melainkan air garam yang istrinya siapkan untuk merendam sayuran! Dengan ekspresi antara menderita dan pasrah, ia terdiam, lalu meratap, “Ya Allah, puasaku bakal lebih berbumbu hari ini!”
Makassar, 7 Maret 2025
Leave a Reply