PENGORBANAN TANPA NAMA

Pentigraf
PENGORBANAN TANPA NAMA
Oleh Telly D.
Anakku Fajrin (12 tahun) terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat bagai kertas, kehilangan warna. Tubuh kecilnya yang dulu lincah kini hanya tulang berselimut kulit, didera penyakit tak pernah kusangka berasal dari kebiasaan sederhana minuman sirup berwarna-warni. Gagal ginjal dan hanya transpalasi ginjal dapat menolongnya. Kabar dari rumah sakit datang bagai cahaya di ujung gelap; ada seseorang yang rela mendonorkan ginjalnya untuk anakku. Operasi pun dilakukan, dan setelah melewati hari-hari panjang pemulihan, kini kami kembali ke rumah sakit untuk pemeriksaan terakhir.
Di parkiran, sebuah gerobak bakso menyerempet mobil mewahku, meninggalkan goresan di pintu. Amarahku meluap. Dengan suara lantang, kutuntut tanggung jawab penjual bakso itu. Ketika aku menanti di ruang tunggu, aku menggenggam tangan Fajrin erat, menjauhkan diri dari si tukang bakso yang antri duduk tak jauh dariku. Waktu berlalu, dan akhirnya dokter memanggil kami masuk. Dengan senyum lega, ia mengabarkan bahwa kondisi Fajrin telah stabil. “Dan. izinkan saya memperkenalkan pendonor yang telah menyelamatkan nyawa anak ibu,” katanya, lalu membuka pintu.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Di hadapanku berdiri pria penjual bakso tadi. Aku terpaku, rasa malu memanggang wajahku. Dengan senyum sederhana, ia menatapku tanpa dendam, hanya keikhlasan terpancar dari matanya. Tenggorokanku tercekat, ia hanya berkata pelan, “Anak itu berhak hidup.” Lalu, tanpa menunggu balasan, ia melangkah pergi, meninggalkanku dalam pusaran sesal tak terucapkan.
Sorong 17 Januari 2025
Leave a Reply