RUMAH DUKA
Pentigraf
RUMAH DUKA
Oleh: Telly D.
Rina duduk di kursi tamu, wajahnya tertunduk seperti bunga yang kehilangan air. Hanya beberapa bulan lalu, ia adalah pengantin yang berjalan di atas hamparan harapan. Namun kini, senyum itu pudar, berganti dengan guratan lelah di matanya. Suasana di rumah kecil itu sunyi, kecuali helaan napas berat yang memenuhi ruang. Di hadapannya, kedua orang tuanya duduk, menanti jawaban dari anak mereka yang tiba-tiba ingin pulang, meninggalkan rumah yang baru ia tempati bersama suaminya.
Desakan demi desakan akhirnya memecah kesunyian. Rina, dengan suara yang patah, mulai bicara. “Bukan pernikahan ini yang kusesali,” katanya, matanya masih tertunduk. “Ia tidak membangun rumah tangga.” Orang tuanya terdiam, terkejut mendengar kata-kata itu. Setiap hari yang kulalui penuh linangan air mata. Aku merasa dipenjara oleh sikapnya yang dingin, egois, dan selalu membuatku merasa tak berarti. Rumah ini seharusnya menjadi tempat bahagia, tapi aku hanya merasa hampa.
Suaminya, yang diam di sudut ruangan tak mampu menjawab. Rina mengangkat kepalanya, kini dengan sorot mata yang penuh keberanian. “Rumah ini rumah duka, Aku tidak ingin hidup dalam duka yang terus-menerus. Aku memilih untuk pergi, sebelum air mata menjadi bagian dari setiap nafasku.” Lalu, ia berdiri, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang akhirnya terasa ringan.
Makassar, 11 Januari 2025
Leave a Reply