BELAJAR DARI PAK SAMIN SI PENJAJA BUAH
BELAJAR DARI PAK SAMIN SI PENJAJA BUAH
Oleh: Telly D.
Di sudut kota Bekasi, tempat pinggiran dan hiruk-pikuk saling bersinggungan, hiduplah seorang lelaki tua yang akrab disapa Pak Samin. Usianya telah melewati tujuh dekade, namun semangatnya tetap muda seperti embun pagi yang jatuh di dedaunan. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menyapa bumi, Pak Samin telah bersiap di atas sepeda tuanya. Sebuah keranjang besar yang penuh dengan buah-buahan segar menggantung di belakang, menjadi saksi perjalanan panjangnya menuju perumahan Galaxy, sebuah kompleks mewah yang telah menjadi medan perjuangannya selama bertahun-tahun.
Anak-anaknya telah berulang kali memohon agar ia berhenti. “Ayah sudah tua,” kata mereka penuh kekhawatiran, “Jalanan itu berbahaya, belum lagi kesehatan Ayah!” Tapi Pak Samin hanya tersenyum, menyeka peluh di dahi dengan sarung yang selalu menggantung di bahunya. “Kalau bukan untuk badan ini bekerja, apa lagi gunanya hidup? Silaturahmi itu bagian dari kesehatan, Nak,” jawabnya sederhana, namun tegas.
Setiap hari, sepeda tua itu menempuh puluhan kilometer melewati jalanan Bekasi yang ramai. Ia tidak peduli dengan usia atau letih yang sering menggerogoti tubuhnya. Baginya, perjalanan ke perumahan Galaxy bukan sekadar menjual buah. Itu adalah ritual menjaga hubungan, mempererat tali silaturahmi dengan para penghuni kompleks yang telah ia anggap keluarga sendiri.
Di perumahan itu, Pak Samin adalah sosok yang akrab. Buah-buahan yang dijajakannya bukan sekadar barang dagangan; mereka adalah simbol kejujuran dan tanggung jawab. Ada Bu Indri di blok A, yang selalu meminta pisangnya digantung di pintu pagar karena sedang sibuk mencuci di lantai dua. “Nanti bayarnya kapan-kapan, ya, Pak Samin,” katanya santai. Dan Pak Samin hanya mengangguk, meninggalkan buah dengan senyuman hangat.
Ada pula Ibu Ratna, pelanggan setia yang suatu hari bertanya, “Pak Samin, kok dua hari kemarin nggak jualan?” Pak Samin menjawab dengan polos, “Pisang yang ada kemarin nggak bagus, Bu. Saya nggak mau mengantarkan buah yang nggak saya jamin kualitasnya.” Jawaban itu membuat Bu Ratna tertegun. Dalam hati, ia kagum pada kejujuran lelaki tua itu.
Pak Samin memang tak pernah main-main dengan buah-buahannya. Ia tahu betul selera pelanggannya dan bagaimana menjaga kepercayaan mereka. Ketika ia berhenti di depan rumah, penghuni perumahan bukan hanya melihat penjual buah, melainkan seorang teman, seorang kakek yang dengan tulus menyambung tali kasih.
Namun, perjalanan itu tidak selalu mudah. Jalanan kota yang sibuk sering kali membuat anak-anaknya cemas. Pernah suatu kali ia terjatuh dari sepeda karena jalanan licin setelah hujan. Lututnya memar, tapi ia tetap berkeras melanjutkan perjalanan. “Kalau saya pulang, nanti Bu Indri nggak punya pisang untuk anak-anaknya,” kilahnya saat anaknya memarahinya.
Di tengah keterbatasan usia dan tenaga, Pak Samin tetap menemukan kebahagiaan dalam rutinitasnya. Ketika tubuhnya lelah, ia duduk sejenak di bawah pohon rindang di pinggir jalan, menyeka peluh dan menghirup udara pagi yang segar. Dalam diam, ia merenungi kehidupannya. Bagi Pak Samin, hidup bukan sekadar menghitung usia, melainkan bagaimana keberadaan kita membawa manfaat bagi orang lain.
Hari itu, seperti biasa, ia menempuh perjalanan menuju perumahan Galaxy. Langit sedikit mendung, tapi semangatnya tidak pernah pudar. Ketika tiba, ia disambut oleh beberapa penghuni yang telah menantinya. “Pak Samin, saya mau mangga lagi, ya!” seru Bu Indri dari balkon. “Tunggu sebentar, saya turun!” Yang lain tersenyum menyapa, bertanya kabar, atau sekadar mengucapkan terima kasih atas kehadirannya.
Pak Samin tersenyum puas saat ia menyandarkan sepedanya. Di usianya yang senja, ia tahu bahwa ia tidak lagi mampu melakukan banyak hal seperti dahulu. Tapi ia percaya, selama tangannya masih bisa bekerja, selama kakinya masih kuat mengayuh, dan selama hati kecilnya masih penuh semangat, ia akan terus mengayuh sepeda tua itu.
Bagi Pak Samin, buah-buahan itu hanyalah perantara. Yang benar-benar ia jual adalah cinta, kejujuran, dan kehangatan hubungan manusia. Di tengah dunia yang sering kali sibuk dan penuh jarak, ia adalah pengingat sederhana bahwa hidup bisa bermakna hanya dengan menjaga silaturahmi, setia pada kepercayaan, dan memberi manfaat tanpa pamrih.
Di sore harinya, setelah buah-buah di keranjang habis terjual, Pak Samin kembali ke rumah dengan sepeda yang kini lebih ringan. Anak-anaknya menyambutnya dengan sedikit omelan, tapi ia hanya tertawa kecil, menyimpan cerita-cerita hari itu di hatinya. Ia tahu, meski mereka mengkhawatirkan dirinya, mereka bangga. Dan itu cukup baginya.
Pak Samin, si penjaja buah dari Bekasi, mungkin hanyalah sosok sederhana yang tidak dikenal dunia. Tapi di perumahan Galaxy, ia adalah penjaga silaturahmi, sosok yang mengajarkan bahwa usia tua bukan alasan untuk berhenti memberi. Karena selama masih ada tangan untuk memberi dan kaki untuk melangkah, kehidupan akan selalu bermakna.
Galaxy Bekasi, 4 November 2024
December 7, 2024 at 2:27 am
Sumintarsih
Cerita kehidupan Pak Samin yang sederhana, tapi punya niatan yang luar biasa. Pesan dikemas dengan halus dan penuh makna.