DI PUSARA WANITA MULIA
DI PUSARA WANITA MULIA
(Renungan tentang Hidup dan Kematian)
Oleh: Telly D.
“Mereka yang menanam cinta dan kebaikan akan terus hidup dalam doa orang-orang yang mencintainya, bahkan setelah raga mereka tiada.”
Pagi itu, aku melangkah perlahan menuju pemakaman di Pamekasan, Madura. Tempat ini tidak pernah kehilangan keheningannya, meskipun ramai oleh para peziarah yang datang dengan doa di bibir dan kenangan di hati. Matahari mulai menyinari hamparan pusara yang tertata rapi, sementara aroma khas tanah basah bercampur harum bunga kamboja memenuhi udara.
Di hadapanku, makam Ibu Nurhayati berdiri sederhana, tanpa hiasan berlebih. Ia adalah seorang wanita mulia yang kebaikannya terus hidup meskipun raganya telah tiada. Aku mengunjungi makamnya bukan hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi juga sebagai pengingat akan budi baiknya. Wanita itu pernah memelihara putraku seperti anaknya sendiri, sebuah kebaikan yang lahir dari ketulusan yang jarang kutemui di dunia ini.
Ibu Nurhayati adalah sosok yang luar biasa. Ia memiliki hati yang begitu lapang untuk menerima kehadiran anakku, merawatnya, dan menyayanginya dengan penuh cinta. Hubungan kami dimulai dari persahabatan putraku dengan putranya, tetapi seiring waktu, ia menjadi bagian dari keluargaku bukan melalui darah, tetapi melalui kasih yang murni.
Ketika aku berdiri di depan pusaranya, berbagai kenangan tentang kebaikannya bermunculan di pikiranku. Betapa ia selalu memberi, ia mengajarkan bahwa cinta dan perhatian adalah anugerah yang paling berharga, lebih dari sekadar harta.
Makam Ibu Nurhayati di Kmpleks Pekuburan Keluarga di Pamekasan. Foto: Dokumen Kelurga
Pusara ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga monumen yang mengingatkanku pada kebaikan yang abadi. Apa yang telah ia tanam selama hidupnya tetap tumbuh di hati kami yang mengenalnya.
Pemakaman selalu memiliki daya tariknya sendiri. Kesunyian di sini terasa begitu nyata, begitu dalam. Di bawah pohon kamboja yang bunganya berguguran pelan, aku merenung tentang bagaimana akhir hidup manusia. Di sinilah semua hiruk-pikuk dunia berhenti. Kematian menjemput tanpa pandang bulu, meninggalkan setiap insan dalam keheningan pusara, hanya ditemani oleh doa dan kenangan orang-orang yang ditinggalkan.
Aku memandang pusara Ibu Nurhayati. Batu nisannya berdiri diam, berbicara dalam bahasa sunyi. Di bawahnya, tubuh yang dahulu penuh kehidupan kini terbaring, menyatu dengan tanah. Betapa rapuhnya manusia, pikirku. Apa yang dahulu terlihat besar dan penting kini mengecil di hadapan kenyataan ini. Semua orang, tanpa kecuali, akan berakhir di sini menghadap Pencipta tanpa harta, jabatan, atau pengikut.
Desiran daun bambu menambah kesan tenang dan damai di tempat ini. Namun, ada rasa hampa yang tak terelakkan. Betapa sunyinya kehidupan setelah mati, hanya menyisakan nama di batu nisan dan mungkin, kenangan yang tertinggal di hati orang-orang yang mencintai kita.
Makam Siti Nur’Aini Nabila Putri dari Ibu Nurhayati di Kompleks Pekuburan Keluarga di Pamekasan. Foto: Dokumen Kelurga
Aku teringat hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa ziarah makam dapat melembutkan hati. Hari ini aku memahaminya lebih dalam. Kesunyian ini mengajarkan bahwa hidup hanya sebatas waktu yang dipinjamkan. Kematian adalah pengingat paling jujur bahwa dunia ini tidak abadi, dan apa yang kita kumpulkan selama hidup baik itu cinta, kebaikan, atau dosa akan menemani kita di alam selanjutnya.
Apa yang telah kita lakukan selama hidup? Sudahkah kita memberi makna bagi kehidupan orang lain? Ataukah kita terlalu sibuk mengejar hal-hal yang akan kita tinggalkan? Aku teringat bagaimana Ibu Nurhayati telah menjalani hidupnya. Ia tidak hanya memiliki kekayaan yang melimpah, tetapi hatinya penuh dengan cinta dan kebaikan. Itulah yang membuat namanya tetap hidup di hati kami meskipun tubuhnya telah tiada.
Kesunyian di sini mengajarkan satu hal penting: hidup bukan tentang seberapa lama kita hidup, tetapi tentang seberapa banyak kebaikan yang kita tinggalkan. Semua yang kita miliki akan lenyap, kecuali amal baik dan doa dari mereka yang kita cintai.
Ketika aku memandang pusara itu untuk terakhir kalinya sebelum pergi, aku berjanji pada diriku sendiri untuk meneladani apa yang telah diajarkan oleh wanita ini. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kebencian, dendam, atau hal-hal sia-sia. Kita tidak pernah tahu kapan waktunya akan tiba untuk kita menyepi seperti ini.
Kematian bukanlah akhir, tetapi sebuah pengingat bahwa hidup memiliki tujuan yang lebih besar. Di bawah nisan ini, tidak ada lagi ambisi duniawi. Tidak ada lagi persaingan, jabatan, atau kekayaan. Hanya amal yang menemani, dan hanya doa yang dapat menjadi cahaya di kegelapan alam kubur.
Aku melangkah pergi dari pemakaman itu dengan hati yang penuh haru. Langkahku terasa berat, tetapi pikiranku menjadi lebih jernih. Aku menyadari bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk memberi arti lebih pada hidup, dan untuk menanam kebaikan yang akan tetap hidup meskipun raga kita telah tiada.
Bunga kamboja terus berguguran, seperti waktu yang tak pernah berhenti. Di bawah pohon itu, aku berdoa agar Allah SWT melimpahkan rahmat kepada Ibu Nurhayati, menerima segala amal baiknya, dan memaafkan kesalahannya. Semoga pusaranya menjadi taman surga yang damai, tempat ia beristirahat dalam keabadian.
Kepada mereka yang masih hidup, termasuk diriku, aku berpesan melalui pengalaman ini: janganlah kita menyia-nyiakan waktu. Mari kita isi hidup ini dengan cinta, amal baik, dan doa. Karena pada akhirnya, ketika kita semua sampai pada masa itu, hanya itulah yang akan kita bawa.
Hidup ini, meskipun singkat, adalah kesempatan untuk meninggalkan jejak kebaikan. Seperti Ibu Nurhayati, yang telah menunjukkan kepada kami bahwa cinta dan keikhlasan dapat mengatasi segala keterbatasan. Semoga kita dapat meneladani jejaknya, dan suatu hari, dikenang sebagai seseorang yang telah memberi arti dalam hidup orang lain.
Pakuwon City, Surabaya, 23 November 2024
November 26, 2024 at 10:02 pm
Sumintarsih
Terima kasih Bunda….telah mengingatkan saya akan kematian. Sesungguhnya kita tinggal menunggu atrean.