SENGGOLAN MAUT
Pentigraf
SENGGOLAN MAUT
Oleh: Telly D.
Dengan rasa enggan, saya memarkir mobil di pelataran parkir itu, tempat yang pernah meninggalkan jejak pengalaman buruk. Masih teringat jelas, bagaimana goresan di bodi mobil saya dulu terjadi tanpa tanggung jawab si juru parkir. Namun, kali ini tak ada pilihan lain. Sebelum pergi, saya meninggalkan pesan tegas kepada juru parkir untuk menjaga mobil saya dengan lebih baik. Pelataran itu ramai, hiruk-pikuk kendaraan dan manusia berpadu dalam kekacauan yang membuat saya semakin cemas.
Saat saya kembali, seorang juru parkir menghampiri dengan wajah penuh rasa bersalah. “Maaf Pak, mobil tak bisa keluar sebab disenggol,” katanya pelan. Jantung saya berdegup kencang, langkah saya bergegas menuju tempat parkir. Dalam benak, saya sudah membayangkan goresan atau penyok yang akan merusak suasana hati saya. Di antara kerumunan, saya memeriksa mobil dengan cermat, namun kelegaan dating, bodi mobil saya tetap mulus, tak ada kerusakan sama sekali.
Namun, perhatian saya tertuju ke arah belakang mobil, tempat sumber kegaduhan itu berasal. Seorang pengamen jalanan berdandan menor, bernyanyi dangdut dengan suara serak, Maaf ya, Pak! Mobilnya saya senggol!” teriaknya, sambil menirukan gerakan panggulnya yang menyenggol bumper mobil saya berulang-ulang dengan “goyang maut” panggul bergetar. Heboh riuh tawa pecah dari kerumunan. Saya hanya bisa menghela napas lega, ikut tersenyum tipis, kejutan kecil mengundang tawa di tengah keramaian.
Pakuwon City Surabaya, 23 November 2024
Leave a Reply