UJIAN DALAM UJIAN
UJIAN DALAM UJIAN
Oleh: Telly D.
“Bu… Kondisi diabetes ini sudah sangat parah. Luka di kaki tidak bisa sembuh karena sirkulasi darah yang terganggu. Saya khawatir, kita harus melakukan amputasi untuk mencegah infeksi menyebar ke bagian tubuh lain.”
Ketika dokter menyampaikan keputusan mengenai amputasi jari kaki suamiku, seakan seluruh duniaku runtuh. Perasaan campur aduk: takut, marah, sedih, dan tak berdaya berputar dalam hatiku. Rasanya seperti berada di tengah badai yang menghantam tanpa peringatan, membuat aku terombang-ambing tanpa arah.
Satu sisi diriku ingin menolak kenyataan ini, ingin percaya bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang bisa segera berakhir. Namun, sisi lain menyadari bahwa ini adalah kenyataan yang harus dihadapi, tak peduli seberapa sulitnya.
Di saat itu, aku merasa sangat kecil dan tak berdaya. Mengapa hal ini harus terjadi pada suamiku? Pada kami? Baru saja kami memasuki masa pensiun, waktu di mana seharusnya kami bisa menikmati hidup bersama, berlibur, dan menikmati hasil kerja keras selama puluhan tahun.
Namun, kenyataan berbicara lain. Bukannya menikmati hidup, kami malah harus berjuang di medan perang yang tak pernah kami duga melawan penyakit yang merenggut banyak hal dari suamiku termasuk kesehatan dan kebebasan bergeraknya.
Aku merasakan kesedihan yang begitu dalam, tidak hanya untuk suamiku tetapi juga untuk diriku sendiri. Aku takut kehilangan dia, takut melihatnya menderita lebih jauh. Setiap malam, pikiran ini berulang-ulang menghantuiku, membuatku terjaga dengan air mata yang tak terbendung. Di saat yang bersamaan, ada perasaan marah pada keadaan yang tidak adil ini. Mengapa kami harus melalui semua ini? Mengapa suamiku harus menanggung rasa sakit ini?
Diabetes tipe 2, yang diderita suamiku belasan tahun lalu, awalnya terasa seperti gangguan kecil. Dengan pola makan yang lebih sehat dan pengelolaan yang tepat, kami bisa mengendalikan gejala dan menjalani kehidupan yang relatif normal.
Namun, seiring bertambahnya usia, penyakit ini mulai memperlihatkan taringnya dengan lebih jelas. Pada awalnya, perubahan itu datang perlahan peningkatan kadar gula darah yang tidak mudah dikendalikan, frekuensi kunjungan ke dokter yang semakin sering, dan kemunculan gejala-gejala yang semakin mengganggu.
Semua berawal dari gejala yang tidak bisa dianggap remeh—rasa haus yang berlebihan, sering buang air kecil, badan yang gatal-gatal dan kelelahan yang tidak kunjung hilang. Kami mulai menyadari bahwa diabetes yang sudah lama dikelola dengan baik mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kami menghadapi kenyataan bahwa meskipun kami telah melakukan segala cara untuk mengontrol penyakit ini, penyakit ini tetap menyerang dengan kekuatan yang semakin menguat.
Beberapa tahun terakhir ini, gejala-gejala yang lebih parah mulai muncul. Suamiku mengalami penurunan berat badan yang drastis meskipun nafsu makannya tidak berkurang. Kaki-kakinya terasa kesemutan dan mulai muncul luka-luka yang sulit sembuh. Kami menghadapi kenyataan bahwa diabetes telah mulai merusak sistem saraf dan pembuluh darahnya, meninggalkan dampak yang lebih berat dan sulit diatasi.
Serangan yang paling menyakitkan adalah ketika dokter memberikan kabar bahwa komplikasi diabetes telah mempengaruhi aliran darah ke jari-jari kakinya, mengancam hidupnya. Terasa seperti hari-hari kami semakin gelap dan penuh ketidakpastian. Setiap kali suamiku mengeluh tentang rasa sakit yang semakin parah, aku merasa hatiku teriris-iris. Melihatnya menderita adalah salah satu hal yang paling berat yang pernah kualami, dan merasa tidak berdaya di hadapan penderitaannya membuatku semakin tertekan.
Ketika Opname di Rumah Sakit. Foto: Dokumen Pribadi
Kemudian datanglah hari-hari di mana suamiku harus menjalani prosedur medis untuk mengatasi luka-luka yang semakin memburuk. Prosedur-prosedur ini, meskipun dimaksudkan untuk meringankan penderitaan, sering kali menambah beban mental dan fisik kami.
Suamiku harus menghadapi kenyataan bahwa satu bagian dari tubuhnya yang sebelumnya dianggap sehat harus dikorbankan untuk mencegah penyebaran infeksi. Kaki yang dulunya merupakan simbol kekuatan dan mobilitas, kini harus dilepas jarinya untuk mencegah infeksi yang lebih parah.
Tanggal 11 Maret 2024, hari di mana prosedur itu dilaksanakan, adalah hari yang akan selalu membekas dalam ingatanku. Melihat suamiku yang penuh rasa sakit dan kekhawatiran, aku merasa seperti kehilangan bukan hanya bagian dari tubuhnya, tetapi juga bagian dari jiwanya yang dahulu kuat dan bersemangat.
Hari-hari setelah operasi adalah ujian yang tiada henti. Melihat suamiku berjuang untuk berdiri dari tempat tidur, menggunakan tongkat untuk melangkah perlahan, adalah pemandangan yang sulit untuk ditangani.
Aku menyaksikan bagaimana setiap langkahnya menjadi perjuangan, bagaimana dia harus belajar kembali untuk bergerak dengan cara yang sama sekali baru. Melihat betapa sulitnya baginya untuk menyesuaikan diri dengan tubuh yang telah kehilangan sebagian dari dirinya, membuatku merasakan beban yang sangat berat di hatiku.
Aku memulai rutinitas harian yang penuh dengan tanggung jawab, mulai dari memantau asupan makanannya untuk memastikan semuanya sesuai dengan diet ketat yang ditetapkan dokter, hingga menjaga jadwal obat-obatan yang rumit. Mengatur waktu antara mempersiapkan makanan, mengingatkan suami untuk minum obat, dan membantu dia dengan kebutuhan sehari-hari sering kali terasa seperti mengarungi lautan yang tak bertepi. Kelelahan emosional dan fisik sering kali menyertai setiap tugas yang harus kulakukan, namun tekad untuk memberikan yang terbaik untuk suamiku selalu menjadi pendorong utama.
Ketika Sudah Kembali ke Rumah. Foto: Dokumen Pribadi
Kami mulai menghadapi tantangan-tantangan kecil yang terasa besar. Mengubah pola makan dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup baru adalah perubahan yang berat. Setiap kali suamiku tidak dapat memenuhi harapan medis, aku merasakan rasa gagal yang mendalam. Bagaimana bisa aku, sebagai pendampingnya, tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan? Rasanya seolah setiap kesalahan, sekecil apapun, menjadi beban berat yang harus dipikul sendirian.
Kesepian dan ketidakpastian tentang masa depan sering kali menyelimuti pikiran kami. Jauh dari anak-anak kami, yang hanya bisa memberikan dukungan jarak jauh, kami harus menghadapi semua ini berdua.
Ketidakpastian tentang bagaimana kami akan menghadapi masa depan dan bagaimana kami akan terus bertahan dalam situasi ini membuatku merasa tertekan dan cemas. Ketika aku menatap wajah suamiku yang menunduk, aku merasa kesulitan untuk menghiburnya dan memberi jaminan tentang masa depan yang lebih baik.
Dalam menghadapi semua ini, ada momen-momen ketika ketabahan kami diuji hingga batas maksimal. Suatu hari, saat cuaca hujan dan dingin, suamiku merasa sangat kesakitan dan sulit bergerak. Kami berdua merasa sangat tertekan, dan aku hampir menyerah pada perasaan putus asa yang mengintai.
Namun, di tengah-tengah semua konflik batin ini, ada sebuah momen di mana aku menyadari bahwa larut dalam kesedihan dan kemarahan tidak akan membantu kami. Suamiku membutuhkan aku lebih dari sebelumnya, dan aku tidak bisa membiarkan diriku terjebak dalam perasaan tak berdaya ini. Aku harus bangkit, tidak hanya untuk diriku tetapi juga untuk dia. Kami telah bersama selama bertahun-tahun, melewati banyak rintangan, dan ini adalah ujian lain yang harus kami hadapi bersama.
Langkah pertama untuk bangkit adalah menerima kenyataan ini, seberat apa pun itu. Aku mulai dengan perlahan-lahan menerima bahwa kondisi ini adalah bagian dari hidup kami sekarang. Alih-alih berfokus pada apa yang telah hilang, aku mencoba memusatkan perhatian pada apa yang masih bisa kami lakukan. Setiap hari, aku berusaha menemukan harapan dan kekuatan dalam hal-hal kecil senyum suami saya, percakapan sederhana yang kami bagi, bahkan momen-momen tenang di mana kami hanya duduk bersama.
Aku juga belajar untuk membuka diri terhadap bantuan dari orang-orang di sekitar kami. Dukungan dari keluarga, teman, dan tenaga medis menjadi sumber kekuatan yang tak ternilai. Mereka memberiku semangat, mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian dalam menghadapi ini.
Selain itu, aku menemukan kekuatan dalam iman dan doa. Setiap kali aku merasa lemah, aku berdoa untuk diberi ketabahan dan ketenangan hati. Aku memohon agar diberikan kemampuan untuk terus menjadi pendamping yang setia bagi suamiku, tanpa mengeluh atau menyerah.
Hari demi hari, aku mulai merasa lebih kuat. Bukan karena rasa sakit dan kesulitan itu hilang, tetapi karena aku belajar untuk menerimanya dan tetap melangkah maju. Setiap tantangan yang kami hadapi bersama menjadi bukti betapa kuatnya cinta kami, betapa tak tergoyahkan ikatan kami. Ini bukan jalan yang mudah, tetapi aku tahu bahwa kami akan terus melangkah bersama, apa pun yang terjadi.
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa kekuatan terbesar kami berasal dari cinta. Cinta yang membuat kami bertahan, yang membuat kami bangkit dari keterpurukan, dan yang terus memberi kami harapan untuk masa depan. Dalam kondisi ini, cinta menjadi cahaya yang menerangi jalan kami, memberikan kami keberanian untuk menghadapi apa pun yang datang.
Aku berusaha memberikan dukungan emosional yang penuh cinta. Kami sering berbicara tentang perasaan dan kekhawatiran yang kami hadapi bersama, mencari penghiburan dalam kebersamaan kami. Aku tahu bahwa peranku sebagai istri bukan hanya menjaga fisiknya, tetapi juga memastikan bahwa dia tetap memiliki semangat untuk hidup dan menghadapi setiap tantangan yang datang.
Walaupun jalan ini panjang dan berat, kami berusaha untuk tidak menyerah. Setiap langkah kecil menuju pemulihan adalah pencapaian yang patut kami syukuri. .
Dengan komitmen dan cinta yang tak tergoyahkan, kami menjalani setiap hari dengan tekad untuk terus melawan penyakit ini dan menikmati hidup meskipun dalam keterbatasan.
Kami tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, tetapi kami tahu satu hal, kami akan terus berjuang bersama. Kami berharap bahwa dengan perawatan yang konsisten dan dukungan satu sama lain, suamiku dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik, dan kami bisa menikmati hari-hari yang tersisa dengan penuh cinta dan rasa syukur.
Makassar, 30 Agustus 2024
September 2, 2024 at 8:39 am
Sri Rahayu
Tetap semangat Bunda Telly… Hebat dalam kebersamaan… Barakallah Bunda…
September 2, 2024 at 3:37 am
Sumintarsih
Kekuatan cinta sudah menjadi obat tersendiri.Sehat selalu untuk Bunda dan Bapak.
September 2, 2024 at 12:24 am
N. Mimin Rukmini
Subhanallah! Tetap semangat dan sehat selalu Bunda! Bapak juga moga cepat disembuhkan! Luar biasa kesabaran, kasih, dan sayang Bunda. Kami larut dalam diksi yang menyentuh. InsyaAllah sungguh menjadi bahan refleksi. Htr nuhun Bun! Berbagi kisah, jazakallohu khoiron kastiro
September 2, 2024 at 12:18 am
Astuti
Menjadi bagian dari ladang ibadah kita
September 1, 2024 at 11:31 pm
Abdullah Makhrus
Bismillah.. semoga sehat selalu untuk Bapak. Begitu pun untuk Bunda yang selalu mendampingi Bapak dengan penuh cinta. Barakallah
September 1, 2024 at 11:05 pm
Much. Khoiri
Catatan harian yang menguras ruang emosi. Sering sy katakan, untuk mencapai hati pembaca, kita perlu menulis dengan segenap hati.