Dua Sisi Dalam Satu Diri

Dua Sisi Dalam Satu Diri
Oleh: Telly D.
Saya sering menemukan, di tengah riuh kehidupan modern yang menuntut kecepatan dan kesuksesan, tidak sedikit orang yang secara tidak sadar berubah menjadi pribadi yang sabar, ramah, dan pengertian namun hanya di luar rumah.
Kepada atasan, bisa menahan diri. Kepada rekan kerja, mampu mengontrol emosi. Kepada pasangan atau teman, rela memberikan maaf bahkan ketika mereka menyakitkan. Ironisnya, kepada keluarga khususnya kepada orang tua, dua manusia yang tak pernah meminta imbalan atas kasih sayangnya. justru lebih cepat tersulut, lebih ringan membentak, dan lebih mudah merasa kesal. Mengapa ini bisa terjadi?
Secara psikologis, fenomena ini dikenal sebagai “safe target anger” (amarah yang ditumpahkan kepada sasaran aman). Menurut psikolog Dr. Guy Winch dalam bukunya Emotional First Aid (2013), seseorang cenderung melampiaskan rasa frustrasi kepada mereka yang dianggap paling aman yakni orang yang diyakini akan tetap mencintainya meski ia bersikap buruk. Orang tua, dalam hal ini, menjadi korban diam dari ketegangan anak-anak yang tak sanggup lagi mengatur tekanan dari luar. Alih-alih mendapat pelukan, mereka justru menerima kemarahan.
Dalam konteks budaya Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga dan kesopanan terhadap orang tua, perilaku ini menjadi semacam pengkhianatan terhadap akar nilai itu sendiri. Konsep “balas budi” misalnya, menekankan bahwa orang tua adalah asal muasal restu dan keberkahan hidup seorang anak.
Dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV, anak diajarkan untuk “ngajeni lan ngurmati sepuh” (menghormati dan menghargai orang tua) sebagai laku hidup utama. Maka, saat ada generasi muda yang bersikap keras terhadap orang tuanya, itu dianggap bukan hanya sebagai kegagalan etika, tapi juga kegagalan spiritual.
Agama pun menempatkan posisi orang tua sangat tinggi, bahkan di atas ibadah-ibadah ritual tertentu. Dalam Islam, misalnya, surat Al-Isra ayat 23 menegaskan bahwa Allah memerintahkan untuk tidak berkata “ah” sekalipun kepada orang tua. Ini bukan sekadar larangan verbal, tetapi juga bentuk ajaran untuk mengontrol hati dan menghargai mereka secara emosional dan spiritual. Maka, ketika ada anak yang lebih sabar kepada orang lain daripada kepada orang tuanya sendiri, bisa dikatakan bahwa ia telah menyalahi arah cinta yang seharusnya.
Sisi lain dari problem ini adalah ketidaksadaran generasi modern akan proses penciptaan dirinya. Ketika bayi, manusia adalah makhluk paling lemah dan merepotkan tidak bisa makan sendiri, tidak bisa berjalan, bahkan buang air pun perlu bantuan. Orang tua lah yang mencurahkan seluruh tenaga dan kasihnya selama bertahun-tahun, bahkan saat anak belum bisa mengucap terima kasih.
Namun, ketika si anak dewasa, pintar, dan mandiri, tiba-tiba merasa memiliki hak atas jarak emosional. Seolah cinta itu bisa diatur dengan waktu kunjung dan jumlah panggilan telepon. Padahal, dalam hati orang tua, anak adalah rumah, bukan tamu yang hanya hadir jika sempat.
Dalam kasus yang banyak ditemui, terutama di kota besar, anak-anak yang sukses justru menjauh secara emosional dari orang tuanya. Mereka sibuk mengejar prestasi, melayani relasi profesional, namun lupa menengok kebutuhan batin orang tua yang seringkali hanya ingin ditemani, didengar, dan dipahami.
Perubahan sosial dan digitalisasi mempercepat jarak ini. Gawai menjadi pengganti percakapan hangat, dan sibuk menjadi alasan paling sahih untuk abai. Inilah bentuk modern dari ketiadaan yang hadir secara fisik bersama, tapi secara jiwa berjauhan.
Pertanyaannya, kapan terakhir kali kita bertanya dengan tulus kepada ayah atau ibu: “Apa yang Ayah/Bunda rasakan akhir-akhir ini?” Kapan terakhir kali kita mendengar cerita mereka tanpa menyela, tanpa menganggap itu pengulangan, tanpa merasa terganggu? Kita panik ketika pasangan tidak membalas pesan lima menit, tapi kita bisa bertahan berminggu-minggu tanpa menanyakan kabar ibu yang dulu tiap malam berjaga saat kita demam.
Satu hal yang sering luput disadari adalah bahwa orang tua adalah sumber berkah. Dalam setiap agama dan budaya, restu mereka adalah pintu terbuka menuju kebaikan hidup. Maka, ketika kita menyakiti mereka, bahkan dengan sikap dingin atau kalimat ketus, kita sedang menutup sebagian jalan doa yang tak pernah mereka hentikan untuk kita. Dan celakanya, banyak dari kita baru sadar akan itu setelah mereka tiada.
Seperti kisah dalam pentigraf yang saya tulis “Rumah yang Tak Lagi Menunggu,” kita baru tersentak ketika menemukan bahwa rumah tempat kita biasa bersikap semaunya, kini hanya tinggal dinding kosong yang menyimpan suara terakhir mereka. Di meja makan yang sunyi, baru kita sadar: orang tua bukan hanya tempat pulang secara fisik, tapi juga batin.
Mari kita pulang bukan hanya dalam arti tubuh, tapi juga hati. Jangan tunggu mereka tiada untuk menyesal bahwa kelembutan seharusnya dimulai dari rumah. Dan sebagaimana air hujan pertama yang jatuh di bumi kering, berilah cinta kepada mereka sebelum hanya doa yang bisa menjangkau.
Makassar, Juni 2025
June 10, 2025 at 12:02 am
Lukman
Senang sekali membaca tulisan ini Bu, Kren
June 9, 2025 at 9:55 pm
Abdullah Makhrus
Tulisan yang sangat menyentuh dan membuka mata hati untuk jiwa-jiwa yang rapuh dan kadang lupa harus berbalas Budi pada teladan pertama yang patut ditiru di dalam rumah. Terima kasih atas pencerahannya Bunda.