DIAM DIKORBANKAN

Pentigraf
DIAM DIKORBANKAN
Oleh: Telly D.
Ia belum cukup dewasa untuk memahami semua, tapi cukup dewasa untuk percaya. Ismail tumbuh di padang gersang, tapi dalam jiwanya mekar akhlak dari air zamzam dan doa yang tak henti dibisikkan ibunya. Ketika ayahnya kembali, bukan pelukan rindu yang dibawa, melainkan mimpi yang mengguncang dunia: “Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu…”
Ismail tidak lari. Tidak memberontak. Tidak menangis. Ia hanya menjawab dengan kalimat yang membuat bumi berhenti sejenak: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Itu bukan keberanian biasa. Itu adalah bentuk tertinggi dari pasrah, ketika seseorang menyerahkan nyawa bukan karena tak berdaya, tetapi karena percaya. Diamnya adalah dzikir yang tak bersuara.
Dan saat pisau sudah berada di lehernya, langit turun tangan. Tuhan menahan pengorbanan yang paling murni, Ia tak ingin darah, Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ketaatan sejati tak selalu harus disempurnakan dengan luka. Seekor domba menggantikan tubuh anak manusia, tapi gema kisah itu tak pernah berhenti hingga hari ini, jutaan jiwa menunaikan kurban untuk mengenang seorang anak yang mengajarkan: diam pun bisa menjadi ibadah paling keras.
Makassar, Juni 2025
Sumber: Al-Qur’an, Surah As-Saffat [37]: 102–107
Leave a Reply