BISING

Pentigraf
BISING
Oleh: Telly D.
Malam berpendar redup, lampu-lampu kota berkelip seperti kunang-kunang kelelahan. Di rumah panggung itu, Reva duduk bersimpuh di lantai kayu, tangannya sibuk melipat kain dagangan ibunya. Rumah kecil mereka penuh dengan gema suara. Ayahnya yang selalu bersungut-sungut, suara gelas beradu di meja, keluhan tentang knalpot motor yang terlalu berisik, bahkan derit pintu pun bisa memicu omelan panjang. tak ada yang benar di mata ayahnya. Udara rumah itu terasa sesak, seperti ruang kehabisan oksigen. Dalam Ramadan ini, masjid menjadi tempat pelarian Reva. Di sanalah ia menemukan ketenangan, lantunan ayat suci menelan riuh pikirannya, membungkus jiwanya dengan damai.
Dalam dingin malam, Reva bertanya lirih kepada ibunya yang tengah duduk di sampingnya selepas tadarus. Mengapa rumah mereka selalu bising. Ada keluh di matanya, ada lelah yang tak terucap. Sang ibu, dengan wajah yang lelah namun tetap teduh, menghela napas panjang sebelum menjawab, “Rohani ayahmu yang bising, Nak. Ia tak mampu bersyukur menerima kenyataan.” Jawaban itu menggema di dalam hatinya, lebih keras dari teriakan ayahnya sendiri.
Baru saja dia merenung kata ibu, suara ayah menggelegar menanyakan dari mana dia semalam. Reva menatap ayahnya, dan untuk pertama kalinya ia tersenyum. “Mencari keheningan, Yah.”
Makassar, Maret 2025
Leave a Reply