MUSALA KECIL

Pentigraf
MUSALA KECIL
Oleh: Telly D.
Alwi selalu mengeluh tentang panjangnya rakaat tarawih. Baginya, malam Ramadan adalah ujian kesabaran yang melelahkan. Ia pun sering berpindah-pindah masjid, mencari yang paling cepat selesai. Hingga suatu malam, kakinya menuntunnya ke sebuah musala kecil di ujung gang sepi. Hanya ada seorang imam tua bersuara merdu, mengalunkan ayat-ayat suci dengan kelembutan yang menenangkan. Tarawihnya begitu ringkas, tanpa jeda panjang, seperti angin yang berlalu tanpa hambatan. Tanpa ragu, Alwi memutuskan inilah tempat yang paling cocok baginya. Ia pun menjadi jamaah setia musala itu, menikmati kemudahan yang tak ia dapat di tempat lain.
Malam demi malam berlalu hingga Ramadan berakhir. Ketika Syawal menjelang, Alwi kembali mengunjungi musala kecil itu untuk sekadar menunaikan salat sunah. Namun, yang ia temui justru kesunyian yang ganjil. Debu menutupi sajadah yang tergulung, dinding musala retak, dan pintunya berderit saat ia dorong. Hatinya berdebar, menolak percaya bahwa tempat yang semarak di bulan Ramadan kini seperti makam yang ditinggalkan. Ia bertanya kepada seorang lelaki tua yang lewat.
“Nak, musala ini sudah lama kosong. Imamnya wafat lima tahun lalu, tak ada lagi yang salat di sini.” Alwi merasakan tubuhnya melemas darahnya berdesir. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Siapa imam yang mengimaminya?” dan “siapa jamaah yang duduk di sampingnya setiap malam Ramadan?” Tubuhnya pingsan membawa rasa penasaran itu.
Makassar, Maret 2025
Leave a Reply