RINDU YANG TERTINGGAL
RINDU YANG TERTINGGAL
Oleh: Telly D.
Di meja dapur yang sekarang sunyi, di usiaku yang sudah senja, aku duduk sambil memandangi panci, pisau, talenan, dan kompor yang tersusun rapi. Dulu, benda-benda ini tak pernah diam. Alat itu adalah teman-teman baik yang selalu sibuk membantu tanganku yang tak pernah lelah menyiapkan makanan untuk keluarga. Namun, kini hanya keheningan yang menemani, seperti jejak-jejak kenangan yang tersimpan dalam hati.
Aku teringat percakapan dengan putriku yang menjadi titik awal semua kegembiraan ini. Waktu itu, dia sedang bersiap untuk sekolah di luar negeri, jauh dari rumah.
“Mama, apa sih yang paling sulit kalau nanti aku sekolah di luar negeri?” tanyanya, matanya berbinar-binar penuh antusias, sementara tangannya asyik membantu menyiapkan bumbu dapur.
Aku tersenyum. “Homesick, Nak. Kamu pasti akan merindukan suasana rumah,” jawabku sambil mengambil wajan. “Apalagi kamu kan suka makan, pasti bakal rindu masakan rumah.”
Putriku mengangguk, tampak merenung sejenak. “Tapi, gimana caranya biar nggak homesick?”
Aku terdiam sejenak, lalu sebuah ide muncul di kepalaku. “Kamu suka makan, kan? Jadi kita hadapi homesick itu dengan belajar masak sendiri. Dengan begitu, kapan pun kamu rindu rumah, kamu bisa bikin sendiri masakan yang kamu suka.”
Dia tertawa kecil. “Wah, kalau gitu, aku harus jadi jago masak dong.”
Kondisi Meja Makan (1) Saat ini. Foto: Dokumen Pribadi
Itulah awal dari segala kegembiraan di dapur kami. Sejak saat itu, dapur sederhana ini berubah menjadi arena latihan yang penuh kegembiraan. Putriku mulai sering membantu di dapur, belajar mengenal sayuran, bumbu-bumbu, dan cara menumis hingga mengukus, menggoreng dan memanggang. Siapa sangka, dari dapur sederhana ini, dia kemudian berani bermimpi lebih besar belajar masakan Western ketika kelak bersekolah di Amerika.
Hari-hari berlalu dengan hiruk-pikuk di dapur. Bukan hanya putriku yang terlibat, tapi kedua adiknya ikut ambil bagian. Dapur kami seperti arena pertunjukan, di mana setiap anak memiliki peran dan keahliannya masing-masing.
Putriku, yang akhirnya berhasil sekolah di Amerika, menjadi jago masakan Western. Aku selalu bangga ketika melihatnya memasak steak dengan daging yang empuk, sausnya kental dan kaya rasa. Dia juga bisa membuat pizza dengan adonan sempurna crispy di luar, lembut di dalam, dengan topping yang beragam, mulai dari keju hingga pepperoni. Tidak hanya itu, dia juga mahir membuat pasta, lasagna, dan beragam masakan Italia lain.
Kondisi Meja Makan (2) Saat ini. Foto: Dokumen Pribadi
“Ma, lihat deh! steak ini, sausnya pakai red wine, rasanya lebih tajam!” serunya dengan antusias di suatu hari, ketika dia berhasil mengolah masakan Western yang baru dipelajarinya. Aku tersenyum, menikmati setiap gigitan hidangannya, takjub dengan keterampilannya yang jauh melebihi kemampuanku di dapur.
Lain lagi dengan putraku yang kedua, si anak teknik. Kalau dia yang memasak, dapur pasti riuh oleh canda dan tawa. Suatu hari, dia datang dengan apron terikat di pinggang, seraya berteriak lantang, “Hari ini aku jadi koki China!”
Kondisi Alat Dapur (1) Saat ini. Foto: Dokumen Pribadi
Kami semua tertawa, karena kami tahu apa yang akan terjadi. Dia akan menyiapkan mi goreng dengan ayam yang dimarinasi dalam bumbu khas Tiongkok. Setiap gerakan tangannya lincah, mencampur bumbu, menumis sayuran, dan menyiapkan daging. Ketika dia selesai, meja makan penuh dengan hidangan seperti mi goreng lezat, ayam kung pao, dan ikan kukus dengan saus jahe.
Tapi, yang paling lucu adalah kebiasaannya yang unik. Di tengah-tengah memasak, jika ada telepon dari temannya, dia akan meninggalkan dapur dengan santai, menggantung pisau, membuka celemeknya, dan berteriak, “Aku koki Bugis hari ini, nggak boleh di dapur kalau ada perempuan.” Sontak kami semua tertawa geli, karena dia selalu menggunakan alasan itu untuk lepas dari tugas masak. Tradisi Bugis, laki-laki berpantang ke dapur selama masih ada wanita.
Kondisi Alat Dapur (2) Saat ini. Foto: Dokumen Pribadi
Adik bungsunya, meskipun lebih muda, tidak kalah kreatif. Dia punya kegemaran khusus ayam goreng. Setiap kali dia di dapur, aroma ayam goreng memenuhi seluruh rumah. Dia menciptakan berbagai variasi ayam goreng, dari yang crispy hingga yang pedas, bahkan pernah mencoba resep dengan madu. “Mama, kalau aku besar nanti, aku mau punya restoran ayam goreng sendiri!” katanya suatu hari, dan aku tahu dia serius dengan mimpinya itu.
Kondisi Alat Dapur (3) Saat ini. Foto: Dokumen Pribadi
Hari-hari di dapur itu adalah masa-masa penuh kebersamaan. Semua anak-anak punya peran. Putriku yang berlatar belakang manajemen mengatur segalanya dengan rapi jadwal memasak, anggaran belanja, hingga siapa yang bertanggung jawab mencuci piring. Putraku yang kedua, dengan otak tekniknya, sering kali menemukan cara-cara kreatif untuk memecahkan masalah di dapur. Pisau tumpul? dia akan mengasahnya dengan gurinda. Parutan ubi yang terlalu berat untuk diperas? Dia menggunakan dongkrak mobil!
Dan si bungsu, ahli teknologi informasi, selalu punya ide baru dari internet. “Ma, aku nemu resep baru nih di YouTube! Ayo kita coba,” katanya, sambil menunjukkan video resep masakan baru. Dapur menjadi pusat eksplorasi dan kreativitas yang tak pernah berhenti.
Setiap kali kami akan memulai memasak, ada ritual yang selalu kami lakukan. Putriku akan bertanya dengan suara penuh semangat, “Siapa yang jadi koki hari ini, dan siapa bintang tamunya?”
Si koki bertanggung jawab atas seluruh proses memasak, sementara si bintang tamu hanya datang untuk makan tanpa harus membersihkan dapur. Itu adalah cara kami membuat suasana lebih seru dan menyenangkan.
Namun kini, semua itu tinggal kenangan. Anak-anakku telah mengejar impian mereka. Putriku berhasil belajar dan berkarir di Luar Negeri sehingga menetap di Amerika, putraku yang kedua di Sorong jaraknya lebih jauh dari si bungsu yang menetap di Singapura bersama keluarga kecilnya. Dapur yang dulu penuh dengan suara tawa kini sunyi, hanya aku dan suamiku yang tersisa dan tetap berdiam di rumah induk kami di Makassar, Indonesia.
Kondisi Alat Dapur (4) Saat ini. Foto: Dokumen Pribadi
Terkadang, aku merindukan kegembiraan itu. Saat malam tiba dan hanya ada suara angin di luar, aku duduk di dapur ini, mengenang masa-masa ketika anak-anakku masih di sini, berkumpul, memasak, dan bercanda.
Kini, pisau-pisau itu telah tumpul, talenan kayu telah usang, dan peralatan masak tak lagi sering digunakan. Tapi, dalam keheningan ini, aku tahu bahwa setiap pengorbanan dan pelajaran yang aku berikan di dapur itu telah membawa anak-anakku ke tempat yang lebih baik. Mereka telah tumbuh, menjalani hidup mereka sendiri, dan aku bangga atas mereka.
Ya, kesepian ini adalah harga yang harus dibayar. Tapi dalam kesunyian ini, ada kebahagiaan yang terselip karena aku tahu, mereka tidak akan pernah merasa homesick, sebab kenangan di dapur ini, bersama masakan yang pernah kami buat, akan selalu mengingatkan mereka pada rumah.
Dan aku? Aku akan terus duduk di sini, bersama kenangan yang tak pernah pudar.
Makassar, 6 Oktober 2024
Leave a Reply