Homesick dan Koki Bugis
Homesick dan Koki Bugis
Oleh Telly D.
Pergi jauh dari rumah, bisa menimbulkan perasaan kangen rumah/homesick, hal yang alami. Namun jika homesick sudah sampai mengganggu fisik perlu perhatian serius. Pemicu awal ada pada ketergantungan. Punya kebiasaan mandiri, memangkas homesick.
Homesick atau perasaan kangen rumah, adalah perasaan yang timbul karena kehilangan hal-hal yang familier misalnya makanan yang biasa disantap, teman yang biasa diajak bercanda, suasana rumah yang penuh kehangatan, atau tempat-tempat yang biasa dikunjungi.
Perasaan ini biasa timbul jika seseorang pergi jauh dari rumah seperti merantau untuk kuliah, keluar negeri, atau pindah ke kota baru. Perasaan tidak aman dan nyaman secara emosional bahkan bisa sampai ke fisik.
Homesick, jika normal adalah hal yang wajar bahkan banyak yang mengalami homesick dan menjadikan subjek untuk membuat cerita, lagu-lagu bahkan film-film yang bisa kita baca atau tonton.
Perasaan homesick bervariasi pada setiap orang, demikian juga pemicunya sangat bervariasi. Pendapat para ahli pun bervariasi tentang homesick.
Joshua Klapow, psikolog klinis dari University of Alabama yang fokus pada pemicu awal homesick mengatakan “homesick sangat berkaitan dengan keterikatan, keterikatan pikiran yang merindukan suatu hal yang sudah diketahui, diprediksi, konsisten, dan stabil.”
Bagian Dada Ikan Tuna. Foto: Dokumen Pribadi
Perasaan ketergantungan ini tidak terikat dengan hal yang spesifik di masa lalu dan masa kini. Orang bisa saja rindu rumahnya yang dulu, yang tidak ideal, penuh kekerasan dan keterbatasan karena kemiskinan sekali pun telah berada pada rumah dan lingkungan yang nyaman dan indah.
Sehingga tidak heran jika berjalan ke luar negeri, sudah tidur di hotel mewah masih mengingat kamarnya di rumah dengan seprei yang dingin dan selalu lupa diganti.
Sudah menikmati jacket potatoes di Inggris tetap rindu denganrendang Padang. Makan kimci di Korea masih merindukan asamnya sayur asam bahkan makan nasi gudeg di Jogya tetap tidak bisa menghalau kerinduan kelezatan konro dan coto Makassar.
Proses Mengolah Dada Ikan Tuna Ala Koki Bugis. Foto: Dokumen Pribadi
Seorang psikolog yang juga pengarang buku Freeing Your Self From Anxiety bernama Tamar Chansky mengatakan ‘’homesick hal normal sebagai pengalaman hidup.’’ Awalnya susah namun dengan waktu dan transisi yang dilakukan, maka homesick akan berangsur hilang.
Tamar Chansky menganalogkan “transisi dua dunia dengan kolam renang, awalnya tidak nyaman saat masuk ke sana, tapi lama-lama, akan terbiasa dan merasa nyaman.” Begitu pula dengan homesick, jika sudah terbiasa, itu tidak akan “menyakitkan” lagi.
Awalnya makan jacket potatoes hanya merasakan panas dan hambarnya kentang panggang, namun seiring berjalannya waktu sudah bisa menikmati kelezatan kentang yang mengepul berpadu dengan keju mozzarella.
Bagian Dada dan Rahang Ikan Tuna. Foto: Dokumen Pribadi
Kimchi yang awalnya hanya bisa merasakan asamnya saja, seiring waktu berjalan kimchi sudah jadi acar makanan umpan tekak yang dicari jika tidak dihidangkan.
Berbeda dengan Ricks Warren, profesor psikiatri di University of Michigan, yang melihat homesick dari pengalaman emosi/sisi kesedihan yang ditimbulkan.
“Homesick digambarkan sebagai reaksi kesedihan” seperti kehilangan orang yang dicintai. Ada kerinduan pada rasa familier yang hilang.
Koki Bugis Lagi Beraksi Mengolah Ikan Tuna. Foto: Dokumen Pribadi
Jika homesick sulit menghadapi lingkungan baru, dapat menimbulkan depresi dan kecemasan. Ini dapat membuat orang mengalami insomnia, tidak nafsu makan, sulit berkonsentrasi. Ini kondisi yang mesti di normalkan.
Setiap orang mengalami homesick dengan cara yang berbeda-beda. Klapow mengategorikan manifestasi gejala fisik dari homesick ke dua jenis ‘keranjang’ yang berbeda.
“Pertama adalah keranjang kecemasan.” Saat homesick, merasakannya di perut membuat tidak nyaman, gugup, stres, dan tegang karena berada di tempat atau situasi yang tidak familiar.
Itu akan memicu respons fight or flight. Semacam hal adaptif yang melindungi diri kita dari bahaya ketika ada sesuatu yang tidak diketahui.
“Ketika kita berpikir tentang rumah, kita akan merasa aman karena tahu tidak ada bahaya di sana. Jadi perasaan tersebut membuat kita ingin pulang ke rumah,” papar Klapow.
“Keranjang kedua adalah tentang kesedihan dan kerinduan. Kenyamanan rumah menjadi seseorang yang kita rindukan dan itu dapat menciptakan kesedihan,” jelas Klapow.
Tiga ahli, Chansky, Klapow, dan Warren setuju bahwa cara utama mengatasi homesick adalah dengan menormalkan perasaan tersebut.
“Katakan kepada diri sendiri bahwa ini adalah hal yang normal. Perasaan buruk hanya terjadi sementara dan akan berubah nantinya,” kata Chansky.
Ia menyarankan, jika mulai rindu terhadap rumah, sebaiknya kita menemukan kedai kopi atau tempat lain yang dapat dikunjungi berulang-ulang hingga terasa familiar. Seiring berjalannya waktu, itu akan membentuk kelekatan baru.
Ramen Ikan Tuna Ala Koki Bugis. Foto: Dokumen Pribadi
“Homesick merupakan bagian dari sebuah proses. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk melakukan penyesuaian dan memegang kendali atas rasa rindu tersebut. Jika terus beradaptasi dengan transisi, maka kita akan merasa lebih nyaman dan terhubung dengan tempat baru.”
Menghindari pemicu awal yang banyak disebabkan ketergantungan maka cara yang paling ampuh melatih anak-anak mandiri sehingga bisa menyelesaikan sendiri jika homesick menghampiri.
Minum Teh Ala Koki Bugis. Foto: Dokumen Pribadi
Membiasakan anak berpindah-pindah dan punya kemampuan adaptasi dengan tempat-tempat baru, termasuk membekali anak-anak kemampuan memasak sehingga jika dirantau dan kangen masakan rumah dapat mengatasi dengan membuat sendiri.
Mencemaskan homesick membuat rumah saya melahirkan banyak koki, mereka menyebut dirinya dengan ungkapan cheef setelah fanatik menonton tayangan master cheef.
Awalnya hanya aktivitas sederhana mengajak untuk senang di dapur, sebatas membantu-bantu ibunya. Meningkat ke hanya makan masakan yang dibuat sendiri. Tidak pernah terbayangkan akan sampai di kondisi dapur rumah menyuguhkan menu-menu internasional dan nusantara dengan kualitas bintang.
Kesenangan berkumpul dan memakan masakan buatan sendiri membuat anak belajar sendiri mengembangkan kemampuan memasak atau membuat kue melalui youtube, belajar pada orang lain bahkan ada yang sudah mengeluarkan uang untuk bersertifikat pada masakan, kue, atau menu tertentu.
Sesungguhnya banyak hal yang dilatih di dapur. Dapur memadu banyak keterampilan mulai dari keterampilan menggunakan alat, memilih bahan sampai ke keterampilan mengolah dan menghidangkannya.
Memasak memadu banyak ilmu dari ilmu gizi dan kesehatan, ilmu matematika, fisika, kimia sampai ilmu manajemen, budaya dan keuangan.
Menggunakan banyak pengalaman sehingga sukses mengolah bahan dengan cara-cara yang berbeda, melatih kesabaran dan ketelitian, bekerja bersama dan mengambil solusi dan keputusan jika menghadapi kondisi yang tidak normal.
Tiga putera/putri saya dengan latar belakang yang berbeda (nutrisi/gizi, teknik perkapalan, dan teknologi informatika) berpadu bekerja bersama di dapur membuat dapur rumah saya bak workshop saja.
Tidak ada resep yang susah untuk mereka wujudkan bersama, semua ada solusinya. Jika tidak punya alat maka dia punya cara cerdas mengatasi, serahkan pada antek (anak teknik).
Spaghetti Ala Koki Bugis. Foto: Dokumen Pribadi
Ketika mereka mencoba membuat makanan khas Buton (kasoami) yang bahan pokoknya dari tepung pati hasil dari perasan parutan ubi kayu, mereka kesulitan mendapat tepung pati yang benar-benar kering. Tidak ada alat untuk memerasnya sampai kering. Anak yang berlatar belakang teknik memeras parutan singkong itu menggunakan dongkrak mobil. Ini yang mereka sebut pakai alat antek (anak teknik).
Mereka tidak punya pisau setajam master cheef di TV yang mampu memotong bahan yang beku. Anak teknik itu menyelesaikan dengan mengasah pisau pakai gurinda.
Heboh sekali suasananya. Jika kami berkumpul maka hal rutin yang dilakukan adalah belanja memilih bahan. Memasak selalu dimulai dengan meneriakkan ”hari ini koki apa?” dan “siapa bintang tamunya?”
Koki apa? mengisyaratkan mau makan apa. Ini berhubungan dengan menu dan siapa yang dipercayakan memasak.
Bintang tamu, ungkapan yang diberikan pada orang yang diistirahatkan tidak berperan memasak namun punya peran menyiapkan alat dan menata meja makan sesuai menu dan membersihkan dapur setelah acara memasak selesai.
Pengakuan terhadap kualitas hasil makanan membuat orang diberi gelar koki. Ada koki cina, koki western, koki nusantara. Sangat arogan sekali, ketat penilaiannya.
Saya yang awalnya mengajari dia memasak cuma diakui kelezatan hasil makanan rendang, sambal goreng, soto, ayam bakar sehingga saya diberi gelar koki nusantara, itu pun tidak sepenuh hati.
Saya tertinggal jauh dengan kemampuan memasak mereka. Itu masih bagus jika dibanding dengan suami, hanya mendapat pengakuan memasak nasi yang bagus.
Mereka suka pamer kelezatan makanan Eropa, China, Arab, Korea sampai Jepang. Yang membuat sempurna ada di antara anak-anak yang menekuni mencampur minuman dan pandai meracik kopi dan hidangan penutup. Di rumah saya dapat menikmati lava cake yang meleleh coklatnya sambil minum kopi cappuccino yang lezat.
Namun tidak selalu dalam keadaan normal. Kadang mereka menolak untuk memasak. Mereka menyebutnya mau buang handuk.
Puteri saya, jika menolak memasak memberi isyarat mau menjadi bintang tamu saja. Anak laki-laki saya jika menolak memasak dia akan meneriakkan “hari ini saya jadi Koki Bugis.”
Budaya Bugis laki-laki tidak kedapur, sehingga anak saya meneriakkan “Saya Koki Bugis.” “Haram hukumnya ke dapur jika masih ada wanita.”
Kepandaian memasak yang tadinya hanya dilatihkan untuk tidak homesick jika jauh dari rumah, membuat anak-anak benar-benar menikmati jauh dari rumah.
Mereka semua berkarir jauh dari rumah. Seorang di Amerika, seorang di singapura dan seorang di Indonesi namun jauh di Papua Barat.
Saya berhasil mengarahkan mereka menjadi koki rumahan yang hebat, yang menurutnya kemampuan itu sangat bermanfaat untuk hidup di luar rumah, menyenangkan orang dan bisa sangat menghemat biaya hidup.
Namun hidup ini tidak sempurna. Saya mempersiapkan anak-anak dengan baik namun saya lupa mempersiapkan diri saya menghadapi kesuksesan itu. Sekarang dapur rumah jadi sepi, saya yang justru jadi rindu kumpul keluarga. Kumpul keluarga adalah hal yang sangat mahal buat saya.
Tidak ada yang gratis di dunia, mempersiapkan anak-anak sukses ternyata bayarannya siap ditinggalkan dan menjalani hidup menua dan sepi.
Makassar, 11 Juli 2021
Leave a Reply