LAUK YANG TAK PERNAH SAMPAI

Pentigraf
LAUK YANG TAK PERNAH SAMPAI
Oleh: Telly D.
Di dapur sempit flat lantai tiga di Amsterdam, Bu Minah memasak tempe orek dan sayur asem. Anak sulungnya mengernyit, “Kenapa nggak pesan pizza aja, Bu?” Tapi Bu Minah tetap menumbuk sambal dengan batu ulekan kecil yang ia bawa dari kampung. Bau bawang goreng memenuhi ruangan, mengusir sepi yang tak bisa diusir oleh Netflix atau cuaca cerah musim semi.
Sudah dua puluh tahun ia di negeri ini. Ia bicara Belanda lancar, kerja di panti jompo, dan cucunya lebih fasih bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia. Tapi setiap kali ia menanak nasi, Bu Minah merasa seperti sedang membangun jembatan pulang meskipun ia tahu, jembatan itu hanya sampai di meja makan, bukan ke tanah tempat kuburan suaminya berada.
Hari itu, saat makan malam, cucunya menanyakan apa nama masakan ini, ini enak. Bu Minah tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan menatap piringnya lama. Lalu dengan dalam, hati yang bergetar, dia begumam “namanya rumah… walaupun sekarang cuma bisa dimakan, bukan lagi bisa didatangi.”
Makassar, Juni 2025
Leave a Reply