SUARA DI BALIK KAIN BATIK

Pentigraf
12
SUARA DI BALIK KAIN BATIK
Oleh: Telly D.
Ibu Marni bukan politisi dari partai besar. Ia adalah penjual jamu keliling yang dikenal karena kepeduliannya pada warga kampung. Setiap malam, ia mencatat keluhan tetangga tentang harga sembako, banjir yang tak surut, dan anak-anak yang putus sekolah. “Kalau cuma mengeluh, kapan berubahnya?” gumamnya suatu malam. Saat pemilihan ketua RW dibuka, ia mendaftarkan diri dengan kain batik dan suara pelan, tapi mantap.
Hari kampanye, beberapa lelaki tertawa meremehkan. “Perempuan mana bisa atur kampung?” Tapi Marni tidak datang membawa janji. Ia datang membawa bukti: catatan data, daftar pengeluaran posyandu, dan rencana kerja gotong-royong yang telah ia jalankan diam-diam. Warga mulai berpikir ulang. Di hari pemilihan, suara terbanyak jatuh padanya. Bukan karena kasihan, tapi karena percaya.
Saat ia pertama kali duduk di kursi rapat sebagai ketua, ruangan itu hening. Ia mengeluarkan selembar kertas dari tas kainnya, dan membuka dengan senyum kecil. “Saya memang datang dari dapur, tapi bukan berarti saya tak bisa ikut menulis arah masa depan kampung ini.”
Makassar, April 2025
Leave a Reply