HUJAN DI DEPAN GERBANG

Pentigraf
HUJAN DI DEPAN GERBANG
Oleh: Telly D.
Pak Sarmi menelan ludahnya yang hambar. Dingin malam merayap di sela-sela pakaiannya yang lusuh, meresap hingga ke tulang. Kedua anaknya memeluk tubuhnya erat, berusaha mencari kehangatan dalam rengkuhan yang sama rapuhnya. Di depan mereka berteduh, pintu gerbang besi berdiri angkuh, seperti tembok pemisah antara kemewahan dan kesengsaraan. Hujan semakin deras, seolah langit pun ikut menangisi nasib mereka. Dari celah pagar, Pak Sarmi menatap pekarangan rumah mewah itu, rumput hijau yang rapi, lampu temaram yang hangat, dan aroma kekayaan yang tak terjamah.
Dari kejauhan, suara azan magrib menggema, namun perut mereka tetap kosong, hanya berisi angan dan doa. Sesaat kemudian, deru mesin motor mendekat. Seorang kurir berhenti di depan gerbang, membawa kantong-kantong makanan yang mengepulkan aroma kelezatan. Harum ayam panggang dan bumbu rempah menusuk hidung, mengaduk-aduk rasa lapar yang kian menyesakkan. Kedua anaknya menatapnya penuh harap, tetapi Pak Sarmi hanya bisa berbisik. “Bukan rezeki kita.”
Tiba-tiba, pintu pagar terbuka. Seorang pelayan keluar, menyerahkan semua kantong makanan kepada mereka. “Ini untuk Bapak dan anak-anak,” katanya lembut. Mata Pak Sarmi membulat, tangannya gemetar menerima berkah yang tak diduga. Dari balik pintu, seorang pria paruh baya berdiri diam, tersenyum samar. Malam itu, kehangatan bukan hanya berasal dari makanan, tetapi juga dari hati manusia yang masih memiliki cahaya.
Makassar, 15 Maret 2025
March 16, 2025 at 9:17 pm
Much. Khoiri
Bagus dan halus pengucapannya
March 16, 2025 at 9:19 pm
Telly D
Terima jadih 🙏🏻