BAMBU DI TEPI LAUT

Pentigraf
BAMBU DI TEPI LAUT
Oleh: Telly D.
Di tepi laut yang bergemuruh, Daeng Jarre lelaki tua berdiri memegang sebilah golok. Rambutnya telah memutih, wajahnya berlumur letih, namun matanya masih menyala seperti bara yang tersisa. Di belakangnya, ratusan orang berjejal dengan aum kecil yang tertindas, wajah-wajah yang diukir lapar dan nestapa. Mereka mencari jalan keluar dari negeri yang menyesakkan, tempat segala kebijakan hanya menguntungkan para penguasa. Laut di hadapan mereka bukan hanya hamparan air, tetapi batas antara kehancuran dan harapan, antara kezaliman dan kebebasan.
Namun, laut itu bukan lagi milik mereka. Ia telah dipetak-petak, dipagari dengan aturan, dikuasai oleh tangan-tangan besi yang tak terlihat. Ombak tak lagi bebas bergulung, melainkan diarahkan sesuai garis-garis yang ditetapkan oleh para pemilik kekuasaan. Setiap jengkalnya bernilai, diperjualbelikan kepada mereka yang berkuasa. Tak ada tempat bagi rakyat jelata untuk menyeberang, kecuali mereka membayar upeti yang mustahil terpenuhi.
Lelaki tua itu mengangkat goloknya dan diarahkan ke bambu, mengayunkannya ke laut. Air bergetar, namun tak terbelah seperti kisah kuno. Sebab Firaun zaman ini bukan lagi satu orang dengan mahkota emas, melainkan sistem yang mencengkeram. Ia menjelma dalam undang-undang yang berpihak pada pemodal, pada aturan yang menjadikan laut milik segelintir orang. Bukan ombak yang menelan mereka, melainkan kebijakan yang tak memberi ruang bagi mereka untuk berlayar ke kehidupan yang lebih baik.
Sorong, 5 Januari 2025
Leave a Reply