DI BALIK CERMIN
Pentigraf
DI BALIK CERMIN
Oleh: Telly D.
Mentari sore menyusup di sela-sela pepohonan, memantulkan warna keemasan di kaca mobil yang melaju di jalan berliku. Di dalamnya, Rina duduk anggun, seperti ratu di atas takhta kecilnya, wajahnya memantulkan pesona yang sempurna. Ia adalah gabungan antara otak yang cerdas dan pesona yang tak bisa dipungkiri, namun kecerdasannya sering kali menjadi pedang bermata dua. Di sebelahnya, Andi menyetir dengan tenang, ekspresinya datar seperti lembaran kertas kosong. Ia bukan pria yang mudah terkesan oleh kilauan luar, apalagi oleh kata-kata yang terkesan meremehkan.
Perdebatan antara keduanya memanas, seperti dua gelombang laut yang saling bertabrakan. Rina berbicara seperti seorang orator yang memandang rendah audiensnya, setiap argumennya menggempur tanpa ampun, tanpa jeda. Bagi Rina, pendapat Andi hanyalah riak kecil di lautan pikirannya yang luas. Sambil berbicara tangannya memegang cermin kecil, dan selalu memastikan riasannya tetap sempurna, seolah tak ada yang lebih penting dari bayangan dirinya sendiri.
“Kamu nggak butuh cermin, Rin. Karena yang kamu lihat cuma pendapatmu sendiri,” ucap Andi menyudahi pembicaraan. Senyap menggantung di udara, sementara Rina terdiam, menatap bayangannya yang perlahan terasa asing.
Makassar, 5 Januari 2025
Leave a Reply