Merenda Silaturahim di Atas Makam
Merenda Silaturahim di Atas Makam.
Oleh Telly D
Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya akan kembali ke pelimbahan (kubangan) juga. Sejauh-jauhnya orang merantau akhirnya kembali ke kampung halaman juga.
Demikianlah bunyi pribahasa yang tepat untuk para perantau. Orang yang selalu saja disibukkan dengan hasrat untuk mudik ke kampung halaman.
Setiap saat saja sebenarnya orang dapat pulang kampung, tidak ada batasan kapan saja. Pulang kampung atau mudik saat lebaran adalah momentum dimana perantau suka memanfaatkannya dengan berbagai kegiatan spiritual yang sarat makna.
Mudik bagi perantau menjadi ritual tahunan setiap akhir Ramadhan. Ada yang memilih mudik sebelum Idul Fitri, ada yang memilih sesudah Idul Fitri.
Mudik sebenarnya adalah bentuk kebutuhan psikologis atau kebatinan. Timbulnya dorongan, keinginan dan kerinduan yang kuat untuk menapak tilas tempat lahir dan tempat yang menyimpan memori dan masa lalu sebagai anak-anak hingga dewasa, merupakan kerinduan psikologis-primordial.
Tradisi mudik lebaran telah menjadi ritual bagi umat muslim Indonesia, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin, pekerja kantoran maupun buruh pabrikan, bahkan pengepul asongan.
Berbagai alasan turut menyertai para pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturahim dengan sanak saudara, melakukan reuni atau berbagi kebahagiaan dengan sanak saudara.
Terdapat pula beberapa tradisi yang menyertai mudik. Salah satunya adalah tradisi ziarah ke makam. Tradisi ziarah ke makam untuk mendoakan famili atau kerabat yang sudah meninggal.
Tradisi ziarah makam dianggap sebagai salah satu ibadah. Sehingga ketika memasuki bulan Ramadhan atau menjelang lebaran, banyak yang melakukan ziarah ke makam.
Area Pemakaman One’one di Usuku Tomia. Foto: Dokumen Pribadi
Beberapa orang menganggap ziarah ke makam sebagai media bersilaturahim antara orang yang masih hidup dengan orang-orang yang sudah meninggal.
Makam adalah satu-satunya media yang menautkan antara orang yang masih hidup dengan yang sudah meninggal, sehingga silaturahim baru lengkap jika mereka juga mengunjungi makam dari orang yang telah meninggal dunia.
Bagi orang muslim, ziarah ke makam merupakan amalan yang dianjurkan, dengan memanjatkan doa kepada yang telah meninggal sekaligus dapat mengingatkan yang hidup akan kematian.
Keutamaan ziarah ke makam merupakan tradisi yang baik bagi orang yang sudah meninggal orang tuanya. Ziarah ke makam sebagai wujud bakti seorang anak lepada orang tua dan keluarga.
Di Usuku, Pulau Tomia kabupaten Wakatobi memiliki tradisi ziarah makam yang unik. Ziarah ke makam termasuk ritual yang menyertai Idul Fitri yang dilakukan secara beramai-ramai dengan waktu yang relatif bersamaan.
Kompleks pemakman One’one di Bonebone Usuku Tomia cukup luas, kurang lebih 15 ha.
Di dalam kompleks makam ada bagian-bagian kecil pemakamam keluarga. Terkotak-kotak dengan diberi pembatas yang jelas. Rumpun-rumpun keluarga punya kompleks pemakaman sendiri-sendiri dalam area pemakaman yang luas itu.
Jenazah tidak dimakamkan secara acak seperti pada pemakaman umum yang dijejer sesuai dengan waktu meninggalnya, melainkan dimakamkan berjejer hanya dalam kompleks pemakaman rumpun keluarga.
Sehari sebelum hari raya Idul Fitri, dilakukan persiapan untuk melakukan ziarah ke makam. Persiapan itu berupa pembersihan kompleks pemakaman secara umum, kemudian membersihkan kompleks pemakaman keluarga.
Membersihkan makam, memotong atau menyiangi rumput yang ada. Bahkan ada yang bolak balik membawa pasir dan kerikil kecil hanya untuk meninggikan unggukan pusaranya sehingga lebih menarik.
Raungan kendaraan bermotor yang bolak balik membawa material pasir dan batu kerikil memekakkan telinga. Asap knalpot yang bercampur dengan debu jalanan menaikkan suhu persiapan ziarah makam untuk esok harinya.
Kegiatan ini dilakukan beramai-ramai secara bergotong royong pada makam keluarga masing-masing sehingga suasananya menjadi hiruk pikuk saling memberi semangat dan sangat meriah.
Penduduk pulau ini pemeluk agama Islam yang taat. Tepat pada hari Idul Fitri, ketika suara takbir mulai bergema di seluruh pulau Tomia, semua masyarakat bercampur dengan para pemudik berjalan bersama keluarga atau berkendaraan berbondong-bondong menuju ke lapangan sepak bola untuk melakukan shalat Idul Fitri dan mendengarkan khotbah.
Lapangan sepak bola ini berada di ketinggian. Sambil duduk bertahmid dan bertakbir dapat menikmati pemandangan laut yang membiru dan merasakan hangatnya hembusan angin pantai.
Suasana Sholat Idul Fitri di Lapangan Sepak Bola, Foto: Dokumen Pribadi
Setelah shalat Idul Fitri, secara spontan dan alamiah saja tanpa ada komando semua jamaah secara bersama-sama melakukan ziarah ke makam. Jalanan menuju ke makam dijejali kendaraan dan pejalan kaki yang semuanya masih dengan pakaian shalat/mukena dan sajadahnya.
Bagi yang berjalan kaki, setiap perjumpaan di sepanjang jalanan itu telah dilakukan salam-salaman. Satu tangan yang menjinjing cerek yang berisi air dan satu tangan yang dijulurkan untuk memberi salam atau menerima salam.
“Selamat hari raya Idul Fitri, mohom maaf lahir dan batin,’’ tanpa harus mengenal orangnya. Semua bergembira menyambut Idul Fitri dan senyuman ditebar ke mana-mana. Rasa bersaudara, senasib dan sepeanggungan sebagai masyarakat pesisir pulau Tomia sangat terasa kentalnya.
Hal ini dilakukan sepanjang jalan sampai masuk ke dalam kompleks pemakaman. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan silaturahim secara besar-besaran di atas makam.
Menjadi kebanggaan keluarga jika kompleks makam orang tuanya dihadiri oleh anak cucunya. Itu isyarat bahwa anak cucu almarhum/ almarhumah masih sangat berbakti kepada orang tua. Kematian tidak membuat mereka menjadi orang yang terlupakan.
Sebaliknya, jika ada makam keluarga yang sepi tanpa pengunjung, maka menjadi kewajiban orang yang mengenalnya untuk menziarahi makamnya. Bagi mereka, Idul Fitri adalah hari bersilaturahim antara orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal.
Ada tradisi saling kunjung mengunjungi makam antara keluarga..Ketika melakukan ziarah makam, peziarah dapat membacakan surat Yasin dan Tahlil, serta mendoakan oang yang telah meninggal agar diampuni dosa-dosanya.
Menuju Lokasi Pemakaman One’one. Foto: Dokumen Pribadi
Memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menuntaskan hal ini. Nyaris seharian mereka dipemakaman. Sebab mereka juga memerlukan duduk-duduk dis ekitar makam bersilaturahim sambil bercerita atau bernostalgia tentang perjalanan hidup orang atau keluarga yang dimakamkan di tempat itu.
Mereka saling bercerita tentang keberanian, keperkasaan mengarungi samudera, berlayar antar benua, kelihaian mereka meretas aturan negara-negara yang mereka kunjungi sebab mereka dulu adalah pelaut sejati yang tidak mengenal dokumen imigrasi.
Ada rasa bangga yang sangat dominan sebagai generasi pewaris pelaut ulung yang tidak kenal menyerah dengan ganasnya hempasan ombak, sangarnya terik matahari dan beringasnya amukan badai samudera.
Suasana Ziarah Makam di Area Makam Keluarga. Foto: Dokumen Pribadi
Mereka punya keyakinan yang diturunkan dari generasi ke generasi bahwa mereka adalah orang terpilih yang ditakdirkan menjadi generasi yang punya kemampuan menjinakkan kemurkaan lautan. Mereka ahli membaca alam, ahli memahami lautan, mampu berkomunikasi dengan angin sehingga mampu berlayar dengan bersahabat dan bergandengan mesrah dengan alam.
Di atas makam itulah saya mendengar cerita keperkasaan dan kesetiaan para wanita Usuku menjaga keluarga di pulau ketika ditinggal berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun oleh suami dan para lelaki untuk berlayar.
Ada cerita yang paling sensasional yang rutin diulang yaitu cerita ketika terjadi kebakaran besar-besaran di pulau yang hanya dihuni oleh anak-anak dan para wanita tua ketika itu dimana mereka harus mampu bertahan dengan kondisi yang ada dalam kurun waktu yang lama tanpa bantuan.
Cerita keperkasan, keberanian, ketangguhan pelaut ulung diturkan di atas makam. Foto: Dokumen Pribadi
Pulau ini dihuni oleh para pelaut ulung dan wanita-wanita yang perkasa yang menjadi tameng utama keluarga. Mereka sangat menjaga keberanian para generasi mereka. Pemakaman itu jadi tempat bertutur mewariskan keberanian itu, mereka punya budaya bertutur yang dipindahkan dari generasi ke generasi secara lisan.
Apa itu yang membuat sehingga semua orang yang telah meninggal ada makamnya di area pemakaman keluarga sekalipun meninggalnya tidak di situ?
Masyarakat ini tidak mengenal tradisi open hause ketika lebaran. Mereka hanya berkumpul dalam keluarga untuk makan lappa-lappa, ketupat, ayam kari. ikan bakar, kenta isenga dan lain-lain, setelah pulang dari ziarah makam. Itu pun hanya untuk keluarga terbatas sepulangnya dari pemakaman sebagai kegembiraan Idul Fitri.
Bagi saya, mudik tahun ini penuh dengan kisah sarat makna yang dapat membangun pribadi menjadi lebih matang dan bermanfaat.
Dapat menaburkan kebahagiaan yang diperoleh dari kota dan membawa semangat gotong royong dan kebersamaan saat kembali dari daerah perantauan.
Merenda silaturahim di atas makam menginspirasi untut terus menjaga rekaman jejak perjalanan hidup, Berharap cerita yang akan dituturkan di atas makam kelak kemudian hari juga cerita yang meneruskan keperkasaan dan keberanian itu.
Tomia, Mei 2022
Leave a Reply